Wujud kepolosannya lah yang
menjadikan landasan. Sebelum mereka semua tumbuh menyebalkan. Membosankan, dan
jauh lebih menjenuhkan. Omong kosong apa, anak-anak bisa kita rubah. Yang
merubah adalah dirinya sendiri boy. Ayat-ayat juga sudah menjelaskannya, tidak
akan berubah suatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya. Aku sangat kesal ketika melihat
anak-anak yang saat kecil begitu menggemaskan. Membuat siapapun yang melihatnya
ingin menyentuh, bertanya dan menggodanya. Namun setelah besar, tumbuh menjadi
mereka yang sangat menyebalkan. Sekolah, menuntut anak-anak untuk berkelakuan
baik. Okelah, guru sudah menconthkan dengan baik. Melarang ini itu,
menganjurkan ini itu untuk sebuah kebaikan. Pernah menyadari atau tidak, jika
marahnya guru untuk murid-muridnya bukanlah kemarahan sesungguhnya. Asal kau
tahu saja, dibalik marah seorang guru, ada sebuah kepedulian yang besar. Tapi
bagi yang tidak memahami, untuk apa aku jelaskan. Tak bakal sampai vroh,
sekalipun sampai juga bakal ditolak. Kalau memang sudah bebal, ya butuh
keajaiban tuhan untuk menyampaikannya.
Aku suka dengan dunia anak,
mungkin karena masa kanak-kanakku terlalu bahagia sehingga aku ingin terus
mengulangnya setiap hari. Sungguh, aku selalu ingin kembali di saat anak-anak
yang penuh dengan tantangan, pembelajaran, dan cerita indah. Meskipun sekarang
jauh lebih banyak tantangan, pembelajaran dan cerita indah. Maka, jika kamu
mengataiku MKKB (masa kecil kurang bahagia) kamu berarti belum mengerti. Justru
masa kecilku jauh lebih bahagia. Dan perlu kamu fikirkan kembali, apakah suka
dengan anak-anak sama artinya dengan kekanak-kanakan? Udahlah, buat apa
diperpanjang. Jika pemikiranmu masih belum sampe juga maka aku tak akan
memaksa. Apa boleh dikata, apa boleh buat. Langsungkan saja hari-harimu dan
akan kuteruskan hari-hariku. Aih, indah sekali kurasa bisa berbagi disana-sini.
Aku bukan pengangguran, dan aku
juga tidak bekerja. Iya lah, mana ada oengangguran yang lupa kalo hari minggu
adalah hari untuk santai-santai? Mana ada pengangguran yang sok sibuk ini itu
tak jelas. Tetapi aku tidak bekerja. Memangnya apa pekerjaanku? Mendidik,
mengajar, memberi sedikit ilmu, itu bukanlah pekerjaan. Melainkan sebuah
panggilan, kewajiban, yang menjadi tuntutan.
Geram aku melihat anak-anak yang katanya
bisa dirubah menjadi lebih baik, ternyata tidak. Kita dituntut untuk merubah
anak-anak menjadi lebih baik, kita diminta untuk memperbaiki moral anak. Setiap
pagi, siang, dan kadang juga ditambah sore. Setiap hari kecuali hari minggu
kami berikan apa yang kami punya. Kami sampaikan makna kebaikan, kami ajarkan
sopan santun, kami tanamkan pengetahuan. Tapi, semua sia-sia kawan. Orangtua
merekalah yang akan menentukan kemana mereka akan melanjutkan perjalanan. Dan
lagi-lagi lingkungan turut mendukung keberlangsungan itu. TV, sinetron, game,
ah semuanya memaksa mereka untuk melupakan apa yang pernah kami beri. Tak apa,
seharusnya kami tak marah. Karena kami memberi bukan untuk dikenang, kami
memberi karena kami peduli. Kami memberi sebenarnya kami sedang menanam untuk
anak-anak kami nanti. Melalui anak-anaklah kami menitipkan do’a-do’a. Melalui
mereka kami menebar benih benih tanaman masa depan.
Tetapi dengan menatap senyum
mereka yang masih polos. Menanggapi pertanya’an pertanyaan mereka, menanggapi
kekepoan mereka, itu suatu kebahagiaan tersendiri. Meskipun terkadang juga
risih, tetapi harus kita beri apa yang kita punya, kasih tau mereka. Bermain,
bergumul dengan mereka bisa sedikit melupakan masalalu, hutang, dan
harapan-harapan manis yang pernah kau beri lalu kau minta lagi. Sudahlah, aku
bahagia tanpa beban. Ini jalanku, aku akan terus berjalan sampai aku temui
jalan buntu. Maka aku akan mencari jalan lain. Hahaaa. Maaf merepotkan.
Terimakasih luarbiasa sudah mau membuang waktu berharga demi tulisan tanpa
makna ini.
0 komentar:
Posting Komentar