![]() |
Aswaja sebagai landasan berfikir dan bersikap _ Ipnu-Ippnu kawah candra dimuka untuk menempa diri |
Akan
tetapi yang akan kita bahas di kesempatan kali ini bukanlah asal usul, sejarah,
dan awal berdirinya faham ahlussunah wal jama’ah. Melainkan inti sari atau
makna dari faham ahlussunah wal jama’ah itu. Sebelum kita berbicara lebih jauh
tentang aswaja sebagai landasan berfikir dan bersikap (bergerak), kita harus
tahu dulu bahwa ruang lingkup aswaja itu dibagi menjadi tiga bagian : aqidah
(keyakinan, kepercaya’an, landasan dasar agama islam), Fiqih (hubungan manusia
dengan Alloh : ibadah sholat,zakat, puasa, dsb ), syari’ah (hubungan sesama
manusia : berdagang, politik sosial). Dan sebelum kita lanjutkan, perlu kita
ketahui juga tokoh aswaja di masing – masing bagian aswaja. Aqidah : imam abu
musa al As’ary (pencetus faham aswaja yang bermadzhab syafi’i. Pengikutnya
disebut as’ariyyah), Imam abu manshur al mathuridi (Pengikutnya disebut
maturidiyyah). Dalam bidang fiqih, aswaja berpedoman pada pendapat dan faham
dari 4 madzhab fiqih (Madzhab syafi’i, khambali, hanafi, dan maliki ). Dan
dalam bidang tasawuf, aswaja berpedoman pada (Imam al ghozali, imam al junaidi
al baghdadi).
Selanjutnya
yang akan kita bahas adalah prinsip dasar dari aswaja yang nantinya harus kita
jadikan landasan kita dalam berfikir dan bersikap. Karena aswaja adalah jalan
bukan tujuan. Dan prinsip dasar itu ada 5 yaitu : tawasuth, tasamuh, tawazun,
ta’adul, dan amar ma’ruf nahi munkar.
*) Tawasuth : Bersikap moderat, tidak
memihak ke satu pihak, tidak ke kiri-kirian dan ke kanan kananan. Kalau kita
bisa ambil makna kata lain dari tawasuth adalah wustho’/wasit. Ya, sering kita
mendangar kata wasit. Yang selalu andil dalam setiap pertandingan, dimana
syarat menjadi seorang wasith tidaklah ringan. Seorang wasit jelas tidak boleh
memihak pada satu team, bagaimana jadinya kalau wasit sudah memihak, bisa bisa
pertandingan menjadi carut marut bahkan porak poranda. Makna dari tawasuth
adalah kita berada di tengah, kalaupun kita berada dalam posisi sebagai pecinta
adalah kita cinta alakadarnya, kalau kita jadi pembenci adalah bukan pembenci
yang lebay. Begitupun dalam kita berfikir itu tidak terpengaruh oleh pemikiran
yang kiri dan kanan. Tetapi kita berada di pemikiran tengah, menimbang nimbang
dengan pertimbangan kedua pemikiran tersebut, memadukannya, dan jadi pribaadi
yang tawasuth.
*) Tasamuh : Toleran. Peduli terhadap
pihak lain yang bahkan yang berlainan dengan persepsi dan bahkan keyakinan
kita. Sehingga dengan adanya pemikiran dan sikap yang toleran ini akan
menjadikan kita menjadikan kita memahami dan mengerti keanekaragaman. Dan
disinilah fungsinya islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Kita tak pernah
memaksakan kehendak orang lain dan tak akan memaksa orang lain untuk mengikuti
kehendak kita, Cuma saja kita memahami makna kebersamaan, berpadu dalam
kebersamaan di atas perbedaan, ya, bhineka tunggal ika. (apa ini yang juga
dinamakan pluralisme?)
*) Tawazun : Seimbang. Hampir serupa
dengan tawasuth, serupa tapi tak sama. Seimbang adalah tidak berlebihan, tidak
alay seperti saya dan tentunya adalah tidak berat sebelah. Ibarat kita jadi
timbangan maka kita tak bisa memberatkan satu pihak dan meringankan pihak lain.
Seimbang antara dunia dan akhirat, seimbang antara kepentingan pribadi dan
bersama.
*) Ta’adul : Adil, artinya tidak berat
sebelah juga, tetapi mungkin yang lebih tepat lagi adalah menempatkan sesuatu
pada tempatnya. Mana mungkin bisa dikatan adil jika seorang ibu memberikan uang
saku yang sama banyak antara anaknya yang SD dengan anakanya yang sudah SMA.
Iya kan, sama, tidak berat sebelah. Tetapi itu tidak bisa dikatan adil,
meletakan sesuatu sesuai dengan maqomnya, memberikan sesuatu berdasarkan
kemampuannya. Ah, semacam itu lah.
*) Amar ma’ruf nahi mungkar : Mengajak
berbuat baik dan menjauhi kemungkaran. Ingat, bukan amar ma’ruf nyambi munkar
yah. Ini merupakan pola pikir dan sikap yang jauh lebih berat dari empat
prinsip dasar aswaja di atas. Bagaimana tidak, jika ke empat prinsip di atas
masih berkutat di seputar urusan pribadi, sikap diri sendiri, tetapi amar
ma’ruf ini adalah lebih mengedepankan orang banyak (Khalayak ramai). Bagaimana
mungkin kita akan dipercaya orang jika mengajak berbuat baik sedangkan kita
bahkan jarang melakukan perbuatan baik, dan bagaimana mungkin kita mengajak
menjauhi kemungkaran sedangkan kita masih melakukan kemungkaran.
Dan dari ke lima prinsip tersebut juga
harus berjalan semua, karena akan canggung dan pincang jika salah satu
diantaranya terabaikan. Mungkin prinsip aswaja tersebut yang harus dijadikan
sebagai pola pikir dan jalan pikiran kita serta landasan dalam kita bersikap,
bertindak, dan berbuat.
Oleh: Faiz Ahsan Riyadi_syarat LAKUT
0 komentar:
Posting Komentar