Awal dari semua apa yang akan
kutuliskan adalah bermula dari siang itu, kami beberapa remaja alay berkumpul
di suatu tempat, kemudian kami berpura-pura membaca buku. Kemudian bosan,
karena memang tak berbakat membaca mungkin, dan butuh keheningan tersendiri
bagi seorang audiotory untuk menikmati kesendiriannya bersama susunan
kata-kata. Munculah ide secara tiba-tiba saja tentang membaca yang lain,
membaca keadaan dan membaca keresahan. Dan dari keresahan inilah kami saling
membaca, mengeluarkan hasil bacaannya masing-masing.
Keresahan pertama adalah tentang
jenis tontonan yang disajikan oleh pertelevisian indonesia saat ini. Bukan,
sungguh kami bukan haters tontonan yang tak bisa dijadikan tuntunan itu. Hanya
saja kami geram dengan apa yang menjadi dampak dari tontonan yang seharusnya
tak jadi tuntunan malah justru dijadikan tuntunan bagi remaja kebanyakan. Tak
hanya remaja saja, anak-anak beserta emak-emaknya juga tak mau kalah saing
dalam dampak yang kurang menguntungkan. Dampaknya sangat menyayat hati, melukai
moral, dan menghianati kebenaran sejati. Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk
menyikapi keresahan ini?
Boy mati satu tumbuh seribu,
tukang bubur yang naik haji nggak pulang-pulang, semua yang berbau keindia
indiaan, anak langit, anak jalanan, anak sekolah, anak jalanan sekolah di langit.
Harusnya jika dilihat dari judul sinetronnya maka sudah sangat baik, anak
jalanan saja sudah mau sekolah, sekolahnya bahkan di langit, ini sebuah mimpi
yang mulia. Katakan cinta katakan putus, yuk jadian, ngrumpi basa basi, aih
penat sekali kepala ini untuk bisa berfikir positif terhadap jenis tontonan
yang memuakan ini.
Nilai edukasi lama-lama luntur
disiram dengan nilai kepentingan sebagian orang yang bahkan masa bodoh sama
yang namanya dampak buruk. Asal perut kenyang, peduli apa dengan dampak yang
ditimbulkan. Dari peristiwa inilah kami berpesan, “ makanlah yang banyak supaya
kita bisa berfikir jernih, mendalam dan realistis ”. Yang mereka kejar bukan
kualitas, tetapi rating dan daya jual di pasaran. Nah, berarti masyarakat yang
membeli dong yang salah. Nahkan jadi mikir. Padahal kita mau beli yang mahal
tapi adanya yang murah, yaudah terpaksa beli yang murah, daripada tak ada yang
dibeli sama sekali.
Kemanakah kualitas orang
pertelevisian yang dulu kreative, inovative, dan peduli terhadap dampak yang
ditimbulkan. Apakah yang berkualitas terkalahkan sama yang lebih ngehits,
tenar, dan asal bapak senang? Apakah dunia hiburan di negeri ini sepenuhnya
dikuasai oleh orang-orang yang pandai membual, dan susah menerima kritik saran?
Atau mereka terpaksa mengalah pada nasib?
Ingatkah kalian dengan beberapa
jenis tontonan zaman dulu, zaman dimana seharusnya orang lebih culun dan kuper
dari hari ini. Tetapi banyak tontonannya yang menginspirasi dan menyejukan hati.
Keluarga cemara misalnya, sidoel anak sekolahan, dan sejenisnya. Kemanakah
inisiator yang seperti itu, mereka harus mengalah dari sang pencetus sinetron
manusia macan-macanan, halilintar menyambar, dan semua jenis sinetron
percintaan anak sekolah yang rok cewenya berada di atas lutut, membuat kami
jadi ser seran saat melihatnya, serta membuat yang cewe jadi kepingin mengikuti
gayanya.
Kami bisa pacaran, kami bisa
cinta-cintaan, kami bisa ciuman, pelukan, ya karena apa yang kami tonton dari
televisi kotak yang jika tak dialiri listrik tak sudi kami melihatnya
berlama-lama. Tampilan dan model pakaian yang kami kenakan, model pergaulan,
adalah perwujudan dari jenis tontonan. Pertanyaannya, adakah modus dibalik
semua ini, adakah pembiaya yang mendalangi semua ini? Jawab sendiri-sendiri
sambil merenung dan mencari-cari dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.
Sehingga sebagai seorang remaja
yang mengaku sebagai pelajar, maka belajarlah dari hal semacam ini. Selaku pendidik
maka didiklah generasi sesuai dengan zamannya. Sebagai orangtua, asuhlah
anak-anak dengan asuhan yang keren, tak perlu saklek dan sepaneng, tetapi
terbuka i tu lebih enak, iya kan, yang terbuka biasanya memang lebih enak,
meskipun cepat basi, eh. Belajarlah lebih arif dan bijaksana, jangan bijaksini
terus. Hal yang dapat kita lakukan adalah :
1. Menyortir jenis tontonan yang
akan kita tonton.
Karena tontonan dewasa pasti
kurang sesuai dengan dunia anak-anak, tontonan yang mengandung unsur pembodohan
dan repeatisasi akan mengurung pemikiran. Pilihlah jenis tontonan yang mampu
dan sanggup dijadikan tuntunan, bagi kita, bagi anak-anak kita, bagi emak-emak.
Karena sebuah tontonan pasti punya genre tersendiri. Anak-anak nonton kartun
yang penih dengan imajinasi, bapak-bapak nonton berita politik, emak-emak
nonton tutorial hijab dan dunia masak memasak. Jangan dicampur-campur atuh,
jangan heran kalo anak abg smp sudah mahir pake gincu dan hijab yang
muter-muter penuh dengan hiasan bunga beserta pohon-pohonnya. Pantaslah,
tontonan yang keliru. Emak-emak jadi lebih fasih dalam menggosip karena
mempunyai bekal yang cukup dari acara gosip yang diputar setiap pagi, siang,
dan sore. Lalu yang bapak-bapak jadi uring-uringan karena tak kebagian jatah
remot untuk nonton perpolitikan, otomotif, perpetualanagn, karena lebih memilih
mengalah demi kesenangan anak istri.
2. Membatasi waktu untuk menonton
Karena ada waktu-waktu yang
sebaiknya digunakan untuk bersantai di depan televisi, ada waktunya mengaji,
ada waktunya siap-siap berangkat sekolah, berangkat kerja, ada waktunya
berkumpul dengan masyarakat. Semua sudah terwaktu-waktu, tak semua waktu habis
disita oleh layar datar memancarkan cahaya berwarna-warni. Karena waktu pula,
mereka penguasa dunia televisi menyisipkan acara-acara yang menarik di
waktu-waktu yang menarik pula. Pagi saat anak-anak bangu tidur, sajikan kartun
supaya anak cepat bangun, melek, dan lupa subuhan. Bagi emak-emak sajikan
invotaiment supaya lupa masak. Maghrib datang, sinetron terbaik dirilis diwaktu
itu, tontonan hiburan menggairahkan tak boleh terlewatkan. Jadi saat emak-emak
memerintahkan anak-anaknya untuk pergi mengaji dan solat jamaah di mushola atau
masjid bisa sambil nonton tipi. Ini lebih asik kan, nak ngaji dulu, belajar
dulu sana, mama mau nonton tivi ya.
3. Mendampingi anak saat nonton
tivi
Anak akan lebih rikuh melihat
adegan aduhai saat ditemani oleh ayah ibunya, atau malah justru ibunya yang
menganjurkan. Itu nak, contoh kakak yang di tipi itu, bajunya bagus, nyetrit,
pacarnya banyak, pandai pelukan, pandai ciuman, kamu yang pandai pelukan ya
nak. Atau setidaknya orangtua memberikan rambu-rambu, pelajaran, dari apa yang
sedang ditonton oleh anaknya. Atau justru mengganti tontonan anak dengan
tontonan yang disukai oleh emaknya. Intinya, jika anak didampingi pasti jauh
lebih terkontrol dan terarah tontonannya.
4. Menonton seperlunya
Berbeda antara seperlunya dengan
secukupnya. Kalau seperlunya artinya jika tak perlu yasudah lewatkan, tetapi
kalau secukupnya maka sampai kapanpun tak akan cukup. Jangan overdosis dalam
menonton tipi, karena dapat menyebabkan mata merah, wajah berminyak, muka
pucat, bibir pecah-pecah. Overdosis dalam hal apapun pasti tak bisa dibenarkan
apapun alasannya. Termasuk juga nonton tipi. Tontonlah tipi untuk mengetahui
informasi terkini, untuk hiburan disaat lelah mengerjakan berbagai hal, bukan
malah dijadikan pekerjaan utama. Bagi mereka yang kerja di dunia pertelevisian
memang mendapatkan hasil dari berdiam diri lama di depan layar, nah kita tak
dapat apa-apa kecuali kepuasan yang sebenarnya tak puas-puas amat.
5. Tanamkan pondasi yang kokoh.
Baik bagi orangtua, anak, remaja,
cewe, cowo. Jika sudah mempunyai pondasi yang kuat maka tak mudah goyah. Pohon
yang menanam dari biji jauh lebih kokoh daripada pohon cangkokan. Pondasinya
bisa dalam bentuk apasaja, yang penting pondasi kebaikan. Inilah nilai
terpenting dari semua yang ada dalam keresahan ini. Moral, akhlak, karakter,
dan semua yang mengandung unsur kebaikan. Karena dengan pondasi itulah, kita
tak akan mudah tergoyahkan dengan angin isu huru hara, dengan rayuan manis
pemanis biang. Tetap berjalan pada garis yang sudah tergariskan. Jadi inti dari
semua ini adalah kembali pada diri sendiri, jika tak bisa menyalahkan mereka,
jika tak bisa berbuat banyak untuk dunia pertelevisian kita, setidaknya kita
mempunyai benteng pertahanan sendiri dan memulainya dari diri sendiri,
keluarga, sahabat, dan kerabat. Insyaalloh di beberapa tahun mendatang
pertelevisian kita mendapatkan hidayah untuk kembali menjadikan tontonan yang
mendidik, menginspirasi, menyejukan, dan tentunya bisa dijadikan tuntunan.
0 komentar:
Posting Komentar