Get me outta here!

Selasa, 23 Mei 2017

Pendidikan Berbanding Lurus Dengan Selera Tontonan.



Awal dari semua apa yang akan kutuliskan adalah bermula dari siang itu, kami beberapa remaja alay berkumpul di suatu tempat, kemudian kami berpura-pura membaca buku. Kemudian bosan, karena memang tak berbakat membaca mungkin, dan butuh keheningan tersendiri bagi seorang audiotory untuk menikmati kesendiriannya bersama susunan kata-kata. Munculah ide secara tiba-tiba saja tentang membaca yang lain, membaca keadaan dan membaca keresahan. Dan dari keresahan inilah kami saling membaca, mengeluarkan hasil bacaannya masing-masing. 

Keresahan pertama adalah tentang jenis tontonan yang disajikan oleh pertelevisian indonesia saat ini. Bukan, sungguh kami bukan haters tontonan yang tak bisa dijadikan tuntunan itu. Hanya saja kami geram dengan apa yang menjadi dampak dari tontonan yang seharusnya tak jadi tuntunan malah justru dijadikan tuntunan bagi remaja kebanyakan. Tak hanya remaja saja, anak-anak beserta emak-emaknya juga tak mau kalah saing dalam dampak yang kurang menguntungkan. Dampaknya sangat menyayat hati, melukai moral, dan menghianati kebenaran sejati. Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk menyikapi keresahan ini?

Boy mati satu tumbuh seribu, tukang bubur yang naik haji nggak pulang-pulang, semua yang berbau keindia indiaan, anak langit, anak jalanan, anak sekolah, anak jalanan sekolah di langit. Harusnya jika dilihat dari judul sinetronnya maka sudah sangat baik, anak jalanan saja sudah mau sekolah, sekolahnya bahkan di langit, ini sebuah mimpi yang mulia. Katakan cinta katakan putus, yuk jadian, ngrumpi basa basi, aih penat sekali kepala ini untuk bisa berfikir positif terhadap jenis tontonan yang memuakan ini.

Nilai edukasi lama-lama luntur disiram dengan nilai kepentingan sebagian orang yang bahkan masa bodoh sama yang namanya dampak buruk. Asal perut kenyang, peduli apa dengan dampak yang ditimbulkan. Dari peristiwa inilah kami berpesan, “ makanlah yang banyak supaya kita bisa berfikir jernih, mendalam dan realistis ”. Yang mereka kejar bukan kualitas, tetapi rating dan daya jual di pasaran. Nah, berarti masyarakat yang membeli dong yang salah. Nahkan jadi mikir. Padahal kita mau beli yang mahal tapi adanya yang murah, yaudah terpaksa beli yang murah, daripada tak ada yang dibeli sama sekali.

Kemanakah kualitas orang pertelevisian yang dulu kreative, inovative, dan peduli terhadap dampak yang ditimbulkan. Apakah yang berkualitas terkalahkan sama yang lebih ngehits, tenar, dan asal bapak senang? Apakah dunia hiburan di negeri ini sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang yang pandai membual, dan susah menerima kritik saran? Atau mereka terpaksa mengalah pada nasib?

Ingatkah kalian dengan beberapa jenis tontonan zaman dulu, zaman dimana seharusnya orang lebih culun dan kuper dari hari ini. Tetapi banyak tontonannya yang menginspirasi dan menyejukan hati. Keluarga cemara misalnya, sidoel anak sekolahan, dan sejenisnya. Kemanakah inisiator yang seperti itu, mereka harus mengalah dari sang pencetus sinetron manusia macan-macanan, halilintar menyambar, dan semua jenis sinetron percintaan anak sekolah yang rok cewenya berada di atas lutut, membuat kami jadi ser seran saat melihatnya, serta membuat yang cewe jadi kepingin mengikuti gayanya.

Kami bisa pacaran, kami bisa cinta-cintaan, kami bisa ciuman, pelukan, ya karena apa yang kami tonton dari televisi kotak yang jika tak dialiri listrik tak sudi kami melihatnya berlama-lama. Tampilan dan model pakaian yang kami kenakan, model pergaulan, adalah perwujudan dari jenis tontonan. Pertanyaannya, adakah modus dibalik semua ini, adakah pembiaya yang mendalangi semua ini? Jawab sendiri-sendiri sambil merenung dan mencari-cari dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.

Sehingga sebagai seorang remaja yang mengaku sebagai pelajar, maka belajarlah dari hal semacam ini. Selaku pendidik maka didiklah generasi sesuai dengan zamannya. Sebagai orangtua, asuhlah anak-anak dengan asuhan yang keren, tak perlu saklek dan sepaneng, tetapi terbuka i tu lebih enak, iya kan, yang terbuka biasanya memang lebih enak, meskipun cepat basi, eh. Belajarlah lebih arif dan bijaksana, jangan bijaksini terus. Hal yang dapat kita lakukan adalah :

1. Menyortir jenis tontonan yang akan kita tonton.
Karena tontonan dewasa pasti kurang sesuai dengan dunia anak-anak, tontonan yang mengandung unsur pembodohan dan repeatisasi akan mengurung pemikiran. Pilihlah jenis tontonan yang mampu dan sanggup dijadikan tuntunan, bagi kita, bagi anak-anak kita, bagi emak-emak. Karena sebuah tontonan pasti punya genre tersendiri. Anak-anak nonton kartun yang penih dengan imajinasi, bapak-bapak nonton berita politik, emak-emak nonton tutorial hijab dan dunia masak memasak. Jangan dicampur-campur atuh, jangan heran kalo anak abg smp sudah mahir pake gincu dan hijab yang muter-muter penuh dengan hiasan bunga beserta pohon-pohonnya. Pantaslah, tontonan yang keliru. Emak-emak jadi lebih fasih dalam menggosip karena mempunyai bekal yang cukup dari acara gosip yang diputar setiap pagi, siang, dan sore. Lalu yang bapak-bapak jadi uring-uringan karena tak kebagian jatah remot untuk nonton perpolitikan, otomotif, perpetualanagn, karena lebih memilih  mengalah demi kesenangan anak istri.

2. Membatasi waktu untuk menonton
Karena ada waktu-waktu yang sebaiknya digunakan untuk bersantai di depan televisi, ada waktunya mengaji, ada waktunya siap-siap berangkat sekolah, berangkat kerja, ada waktunya berkumpul dengan masyarakat. Semua sudah terwaktu-waktu, tak semua waktu habis disita oleh layar datar memancarkan cahaya berwarna-warni. Karena waktu pula, mereka penguasa dunia televisi menyisipkan acara-acara yang menarik di waktu-waktu yang menarik pula. Pagi saat anak-anak bangu tidur, sajikan kartun supaya anak cepat bangun, melek, dan lupa subuhan. Bagi emak-emak sajikan invotaiment supaya lupa masak. Maghrib datang, sinetron terbaik dirilis diwaktu itu, tontonan hiburan menggairahkan tak boleh terlewatkan. Jadi saat emak-emak memerintahkan anak-anaknya untuk pergi mengaji dan solat jamaah di mushola atau masjid bisa sambil nonton tipi. Ini lebih asik kan, nak ngaji dulu, belajar dulu sana, mama mau nonton tivi ya.

3. Mendampingi anak saat nonton tivi
Anak akan lebih rikuh melihat adegan aduhai saat ditemani oleh ayah ibunya, atau malah justru ibunya yang menganjurkan. Itu nak, contoh kakak yang di tipi itu, bajunya bagus, nyetrit, pacarnya banyak, pandai pelukan, pandai ciuman, kamu yang pandai pelukan ya nak. Atau setidaknya orangtua memberikan rambu-rambu, pelajaran, dari apa yang sedang ditonton oleh anaknya. Atau justru mengganti tontonan anak dengan tontonan yang disukai oleh emaknya. Intinya, jika anak didampingi pasti jauh lebih terkontrol dan terarah tontonannya.

4. Menonton seperlunya
Berbeda antara seperlunya dengan secukupnya. Kalau seperlunya artinya jika tak perlu yasudah lewatkan, tetapi kalau secukupnya maka sampai kapanpun tak akan cukup. Jangan overdosis dalam menonton tipi, karena dapat menyebabkan mata merah, wajah berminyak, muka pucat, bibir pecah-pecah. Overdosis dalam hal apapun pasti tak bisa dibenarkan apapun alasannya. Termasuk juga nonton tipi. Tontonlah tipi untuk mengetahui informasi terkini, untuk hiburan disaat lelah mengerjakan berbagai hal, bukan malah dijadikan pekerjaan utama. Bagi mereka yang kerja di dunia pertelevisian memang mendapatkan hasil dari berdiam diri lama di depan layar, nah kita tak dapat apa-apa kecuali kepuasan yang sebenarnya tak puas-puas amat.

5. Tanamkan pondasi yang kokoh.
Baik bagi orangtua, anak, remaja, cewe, cowo. Jika sudah mempunyai pondasi yang kuat maka tak mudah goyah. Pohon yang menanam dari biji jauh lebih kokoh daripada pohon cangkokan. Pondasinya bisa dalam bentuk apasaja, yang penting pondasi kebaikan. Inilah nilai terpenting dari semua yang ada dalam keresahan ini. Moral, akhlak, karakter, dan semua yang mengandung unsur kebaikan. Karena dengan pondasi itulah, kita tak akan mudah tergoyahkan dengan angin isu huru hara, dengan rayuan manis pemanis biang. Tetap berjalan pada garis yang sudah tergariskan. Jadi inti dari semua ini adalah kembali pada diri sendiri, jika tak bisa menyalahkan mereka, jika tak bisa berbuat banyak untuk dunia pertelevisian kita, setidaknya kita mempunyai benteng pertahanan sendiri dan memulainya dari diri sendiri, keluarga, sahabat, dan kerabat. Insyaalloh di beberapa tahun mendatang pertelevisian kita mendapatkan hidayah untuk kembali menjadikan tontonan yang mendidik, menginspirasi, menyejukan, dan tentunya bisa dijadikan tuntunan.

0 komentar:

Posting Komentar