Get me outta here!

Senin, 08 Mei 2017

“ Bantulah Siapapun dengan Kebaikan dan Keikhlasan “

Kamis, 04 Mei 2017. 


Pagi hari, tepat pukul 08.00 kami berlima segera menarik gas motor menuju PAUD Pupa cita yang terletak di grumbul mbanyon, desa sawangan, kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas.

Jika kemarin kami hanya datang berempat, hari ini kami berlima. Siap meluncur menuju ke tempat eksekusi. Tempat tujuan kami untuk beraksi, memulai memperkenalkan diri diteruskan dengan memulai menebar aksi, tanpa menampikan visi secara kasat mata, namun langsung menembus ke dalam dada. Belajar bersama kami mulai dengan berbasa basi yang sudah basi, ya, apalagi kalau bukan perkenalan. Hanya karena pepatah yang sangat bijaksana “tak kenal maka kenalan” lah kami harus menyertakan sesi ini dalam pertemuan kami dengan siswa-siswi dari PAUD Puspa Cita ini. Riuh suara walimurid yang sedang menunggu tidak kalah heboh dengan siswa-siswi yang semakin antusias dengan aksi yang akan kami bawakan.

Meskipun rencana yang kami bawa selalu sama, tetapi suasana dan keadaan sangat berperan penting dalam kelangsungan pertemuan dengan konsep yang sama ini. Nah, ini artinya lingkungan sangtalah berpengaruh dalam proses apapun, catet. Tiga cekgu cantik sudah menyambut kami berlima dengan senyuman yang selalu menentramkan hati, seperti sudah siap menerima apa yang telah ia nantikan selama berhari-hari. Pertanyaannya : kenapa cekgu anak usia dini harus cantik? Kenapa harus perempuan? Apakah laki-laki tidak bisa dan tidak boleh menjadi cekgu buat mereka? Jawab.

Rencana berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan, malah justru lebih dari bagaimana yang kami gambarkan sebelumnya. Inilah pengalaman kedua kami mengunjungi siswa-sisi TK PAUD di sekitar Madrasah kami, Mimanusaka.

Setelah perkenalan, fase selanjutnya sesuai dengan rencana adalah permainan. Namun pada kesempatan kali ini kami tidak membawakan permainan yang telah kami tampilkan kemarin. Hari ini kita membawa permainan talang bola, paralon dipotong jadi dua dipegang anak, lalu bola menggelinding bebas ditasnya, berahir di sebuah ember yang telah dipegangi salah satu siswa di bagian finishnya. Siswa merasa senang, orang tua girang, cekgu pun tersenyum. Wah, berhasil, berhasil.

Nonton menjadi ritual inti bagi kami, karena didalam tontonan itu telah kami selipkan virus-virus berbahaya. Virus dan racun untuk membuat anak-anak terkontaminasi dengan pola pendidikan di madrasah kami, MIMANUSAKA. Sungguh kejahtan yang telah direncana. Tidak, ini wujud kejahatan yang baik serta ramah lingkungan kok, jadi tak perlu dirisaukan. Banyak yang sebelumnya belum sempat melihat secara dekat model tontonan yang kami tampilkan. Sehingga diantara mereka masih mengira bahwa tontonan itu berasal dari Televisi yang sedikit banyak meracuni mereka dengan racun yang tak ramah lingkungan. Yang terfikir dalam benak mereka adalah ingin menonton upin-ipin, boboboiy, dan jenis tontonan yang sejenisnya. Meskipun jenis tontonan itu tak terlalu beracun namun kami sedang tak ingin memanjakannya. Bahwa tanpa mereka ketahui kami sedang meracuni mereka.
Selesai sesi nonton bareng, pembelajaran dilanjutkan dengan story telling yang akan dibawakan oleh orang krik-krik versi kekinian. Anggap saja ini sebagai penawar racun yang telah kami tebar. Karena didalam story telling ini terselip pula nilai-nilai akhlakul karimah di dalamnya. Mula-mula anak-anak ramai dan riuh tak beraturan, namun setelah semua jurus terkeluarkan, hap. Tak ada yang berkedip, untuk nafas saja sampai susuah, Pilek. Cerita dimulai dan seluruh perhatian tertuju pada satu pusat, jam dinding yang tertempel di tembok. Detak jarum pendeknya sudah melangkah diangka sepuluh, jarum panjang di angka tiga. Mungkin inilah waktu untuk mengahiri perjumpaan kita hari ini. Sebelum benar-benar pulang, lima hadiah bersyarat terlontarkan. Dengan syarat menghafal do’a-do’a sederhana mereka bisa membawa hadiah yang telah kami bawa dari madrasah. Sekali lagi, jangan dilihat bendanya tetapi lihatlah harganya, dua ribu rupiah saja. Banyak yang kecewa karena belum mendapatkan lima hadiah berharga, duaribu rupiah itu. Namun kami selalu baik hati dan tidka sombong. Sehingga kami memberi mereka semua hadiah secara merata. Hore, mamak, aku dapat hadiah dari pak guru dan bu guru MI. 

Belum, belum selesai pembelajaran kami. Jika yang demikian tadi adalah proses belajar kami dari anak-anak, maka yang ini adalah saatnya belajar dengan cekgu-cekgunya. Dimulai dari basa basi lagi dan diteruskan dengan berbagai keluh kesah pendidikan. Nilai sebuah perjuangan yang tak terbantahkan. Karena dengan menceburkan diri kita ke dalam dunia pendidikan berarti kita siap dengan segala konsekuensinya. Berkeluh kesah tentang mirisnya penidikan kita, tentang nasib seorang guru. Hanya kebaikan dan keikhlasanlah yang menjadikan kami semua bertahan dan terus bertahan. “Bantulah siapapun dengan kebaikan dan keikhlasan”. Ahirnya kami sama-sama mengangguk mengiyakan keadaan yang mau bagaimana lagi, keadaan yang harus kita terima. Wah, asik sekali bercengkrama dengan mereka. Duduk melingkar, tiga volunteer madrasah dan tiga pejuang pendidikan anak usia dini berkumpul dalam satu pembicaraan yang hangat. Mungkin inilah yang selayaknya kami terima, sebuah pelajaran nyata.

Pelajaran terahir sebelum kami kembali ke Madrasah kami ; Asik koh mas, dadi guru TK kuwe ya mung bisa guyu, keprok, nyanyi. Dadi, kayangapaha kahanane ati ya tetep keprok bae. Senajan nangumah kesueh kayangapa ya ming sekolahan nyengir, keprok, nyanyi. Kayakuwe saben ndinane. Tapi ya pancen kadang-kadang sing jenenge bocah kuwe nggemletheki, tapi ya sedela bae mari gemletheke, sebabe ya anu bocah. Bedha kambi gemlethek maring wongtua, suwe marine. Kesimpulane ya sing penting nyengir, keprok, nyanyi. Arep kesuh, arep sedih, arep seneng ya pokoke keprok bae, nyanyi bae, nyengir bae. 

Terimakasih, itu catatan perjalanan kami di hari yang kedua ini. Semoga tidak bermanfaat, dan semoga membuat anda semakin gerah. Maaf merepotkan. Salam nyengir, salam nyanyi, dan salam keprok selalu. Horeee..

0 komentar:

Posting Komentar