Pagi hari, tepat pukul 08.00 kami
berlima segera menarik gas motor menuju PAUD Pupa cita yang terletak di grumbul
mbanyon, desa sawangan, kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas.
Jika kemarin kami hanya datang
berempat, hari ini kami berlima. Siap meluncur menuju ke tempat eksekusi.
Tempat tujuan kami untuk beraksi, memulai memperkenalkan diri diteruskan dengan
memulai menebar aksi, tanpa menampikan visi secara kasat mata, namun langsung
menembus ke dalam dada. Belajar bersama kami mulai dengan berbasa basi yang
sudah basi, ya, apalagi kalau bukan perkenalan. Hanya karena pepatah yang
sangat bijaksana “tak kenal maka kenalan” lah kami harus menyertakan sesi ini
dalam pertemuan kami dengan siswa-siswi dari PAUD Puspa Cita ini. Riuh suara
walimurid yang sedang menunggu tidak kalah heboh dengan siswa-siswi yang semakin
antusias dengan aksi yang akan kami bawakan.
Meskipun rencana yang kami bawa
selalu sama, tetapi suasana dan keadaan sangat berperan penting dalam
kelangsungan pertemuan dengan konsep yang sama ini. Nah, ini artinya lingkungan
sangtalah berpengaruh dalam proses apapun, catet. Tiga cekgu cantik sudah
menyambut kami berlima dengan senyuman yang selalu menentramkan hati, seperti sudah
siap menerima apa yang telah ia nantikan selama berhari-hari. Pertanyaannya :
kenapa cekgu anak usia dini harus cantik? Kenapa harus perempuan? Apakah
laki-laki tidak bisa dan tidak boleh menjadi cekgu buat mereka? Jawab.
Rencana berjalan dengan lancar
sesuai dengan harapan, malah justru lebih dari bagaimana yang kami gambarkan
sebelumnya. Inilah pengalaman kedua kami mengunjungi siswa-sisi TK PAUD di
sekitar Madrasah kami, Mimanusaka.
Setelah perkenalan, fase
selanjutnya sesuai dengan rencana adalah permainan. Namun pada kesempatan kali
ini kami tidak membawakan permainan yang telah kami tampilkan kemarin. Hari ini
kita membawa permainan talang bola, paralon dipotong jadi dua dipegang anak,
lalu bola menggelinding bebas ditasnya, berahir di sebuah ember yang telah
dipegangi salah satu siswa di bagian finishnya. Siswa merasa senang, orang tua
girang, cekgu pun tersenyum. Wah, berhasil, berhasil.
Nonton menjadi ritual inti bagi
kami, karena didalam tontonan itu telah kami selipkan virus-virus berbahaya. Virus
dan racun untuk membuat anak-anak terkontaminasi dengan pola pendidikan di
madrasah kami, MIMANUSAKA. Sungguh kejahtan yang telah direncana. Tidak, ini
wujud kejahatan yang baik serta ramah lingkungan kok, jadi tak perlu
dirisaukan. Banyak yang sebelumnya belum sempat melihat secara dekat model
tontonan yang kami tampilkan. Sehingga diantara mereka masih mengira bahwa
tontonan itu berasal dari Televisi yang sedikit banyak meracuni mereka dengan
racun yang tak ramah lingkungan. Yang terfikir dalam benak mereka adalah ingin
menonton upin-ipin, boboboiy, dan jenis tontonan yang sejenisnya. Meskipun
jenis tontonan itu tak terlalu beracun namun kami sedang tak ingin
memanjakannya. Bahwa tanpa mereka ketahui kami sedang meracuni mereka.
Selesai sesi nonton bareng,
pembelajaran dilanjutkan dengan story telling yang akan dibawakan oleh orang
krik-krik versi kekinian. Anggap saja ini sebagai penawar racun yang telah kami
tebar. Karena didalam story telling ini terselip pula nilai-nilai akhlakul
karimah di dalamnya. Mula-mula anak-anak ramai dan riuh tak beraturan, namun
setelah semua jurus terkeluarkan, hap. Tak ada yang berkedip, untuk nafas saja
sampai susuah, Pilek. Cerita dimulai dan seluruh perhatian tertuju pada satu
pusat, jam dinding yang tertempel di tembok. Detak jarum pendeknya sudah
melangkah diangka sepuluh, jarum panjang di angka tiga. Mungkin inilah waktu
untuk mengahiri perjumpaan kita hari ini. Sebelum benar-benar pulang, lima
hadiah bersyarat terlontarkan. Dengan syarat menghafal do’a-do’a sederhana
mereka bisa membawa hadiah yang telah kami bawa dari madrasah. Sekali lagi,
jangan dilihat bendanya tetapi lihatlah harganya, dua ribu rupiah saja. Banyak
yang kecewa karena belum mendapatkan lima hadiah berharga, duaribu rupiah itu.
Namun kami selalu baik hati dan tidka sombong. Sehingga kami memberi mereka
semua hadiah secara merata. Hore, mamak, aku dapat hadiah dari pak guru dan bu
guru MI.
Belum, belum selesai pembelajaran
kami. Jika yang demikian tadi adalah proses belajar kami dari anak-anak, maka
yang ini adalah saatnya belajar dengan cekgu-cekgunya. Dimulai dari basa basi
lagi dan diteruskan dengan berbagai keluh kesah pendidikan. Nilai sebuah
perjuangan yang tak terbantahkan. Karena dengan menceburkan diri kita ke dalam
dunia pendidikan berarti kita siap dengan segala konsekuensinya. Berkeluh kesah
tentang mirisnya penidikan kita, tentang nasib seorang guru. Hanya kebaikan dan
keikhlasanlah yang menjadikan kami semua bertahan dan terus bertahan. “Bantulah
siapapun dengan kebaikan dan keikhlasan”. Ahirnya kami sama-sama mengangguk
mengiyakan keadaan yang mau bagaimana lagi, keadaan yang harus kita terima.
Wah, asik sekali bercengkrama dengan mereka. Duduk melingkar, tiga volunteer
madrasah dan tiga pejuang pendidikan anak usia dini berkumpul dalam satu
pembicaraan yang hangat. Mungkin inilah yang selayaknya kami terima, sebuah
pelajaran nyata.
Pelajaran terahir sebelum kami
kembali ke Madrasah kami ; Asik koh mas, dadi guru TK kuwe ya mung bisa guyu,
keprok, nyanyi. Dadi, kayangapaha kahanane ati ya tetep keprok bae. Senajan
nangumah kesueh kayangapa ya ming sekolahan nyengir, keprok, nyanyi. Kayakuwe
saben ndinane. Tapi ya pancen kadang-kadang sing jenenge bocah kuwe
nggemletheki, tapi ya sedela bae mari gemletheke, sebabe ya anu bocah. Bedha
kambi gemlethek maring wongtua, suwe marine. Kesimpulane ya sing penting
nyengir, keprok, nyanyi. Arep kesuh, arep sedih, arep seneng ya pokoke keprok
bae, nyanyi bae, nyengir bae.
Terimakasih, itu catatan
perjalanan kami di hari yang kedua ini. Semoga tidak bermanfaat, dan semoga
membuat anda semakin gerah. Maaf merepotkan. Salam nyengir, salam nyanyi, dan
salam keprok selalu. Horeee..
0 komentar:
Posting Komentar