Senja ini aku ingin mengadu
keberuntungan, berharap kebaikan langit akan turun mengamini doa dan harapanku.
Dulu orang – orng telah mengenaliku sebagai seorang pemulung rindu yang ulung.
Tetapi senja ini aku ingin benar-benar menhapus gelar pemulung rindu itu.
Keyakinan yang begitu besar mengharuskanku untuk segera melangkahkan kaki
dengan mantap, tanpa ada keragu raguan lagi di dalamnya.
Mulailah kulangkahkan kaki
meninggalkan sepetak bangunan yang menyedihkan. Tanpa menunggu lama langsung kupakai
kostum kebanggan ini. Topi jerami yang sudah mulai lusuh dimakan usia. Kaos
hitam kumal tanpa lengan, celana tiga perempat dengan resleting yang tak lagi
berfungsi. Aku rasa ini sudah serasi sekali. Membuatku begitu yakin dengan apa
yang akan aku lakukan.
Kumulai melangkah dengan pelan
namun pasti, tanpa alas kaki. Kumulai menyusuri gang-gang kampung yang sudah
sangat kuhafal ini. Bagaimana tidak, hampir seumur hidupku kuhabiskan disini,
dikampung kebanggan ini, ditempat yang tak menjanjikan mimpi mimpi, namun
bersahaja dengan berjuta arti. Saking hafalnya, bahkan aku sampai hafal dengan
kebiasan – kebiasaan orang orang di sekitar gang sempit ini. Mulai dari bang Epe
yang setiap sore pasti memainkan burung merpatinya. Bahkan sering tanpa sadar
konsentrasi bang Epe hanya tertuju pada burung merpatinya itu. Sampai lupa
kalau sarungnya telah berulang kali dia gulung ke atas, terus ke atas, terus
dan terus, sampai wa maryam berteriak histeris saat melihat burungnya yang
gagah.
Dengan membesarkan hatiku sendiri,
aku mulai menjanjakan barang dagangan yang kuikat rapi sejak dari rumah. Sudah
kutata pula didalam dua keranjang pikulanku, sebagian kutaruh dikeranjang
bagian depan, dan sebagian lainnya lagi kutaruh dikeranjang bagian belakang.
Aku mulai berseru nyaring. Kutawarkan barang daganganku kepada siapapun yang
kutemui. Tak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, sedang bahagia atau sedang
dirundung duka. Pokoknya siapapun yang kujumpai pasti kutawari barang
daganganku ini.
Ya, aku jualan kenangan, senja ini.
Satu profesi yang kupikir mulia sekali. Bagaimana tidak, bahkan “ pekerjaan ini
lebih mulia dua puluh tujuh derajat dibanding dengan pemulung rindu” gumamku
dalam hati.
Naaaaang... Kenangaaaaannnn !!!!
Suaraku mulai menyalak lantang.
Memecahkan keheningan senja di perkampungan pinggir kota kecamatan ini. Dalam
hati aku selalu berharap akan ada keberuntungan menghampiriku. Aku berharap
akan ada orang yang berbaik hati mau membeli kenangan- kenanganku ini. Setelah
sekian lama ku berteriak menawarkan anuku,
ternyata hasilnya adalah nihil. Setiap orang yang berpapasan denganku tak
ada yang menggubris sedikitpun. Mereka lebih memilih acuh dan tak memperhatikan
sedikitpun dengan apa yang kupikul sejak berjam jam lalu. Semua orang yang
kulewati bahkan terbengong dan diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tak
bergeming saat aku melintas dihadapan mereka dan menawarkan anuku. Malang sekali nasibku senja ini.
Tidak hanya berhenti disitu,
bahkan sekumpulan emak-emak yang sedang sibuk menyuapi anak anaknya sempat
berbisik pelan.
“ eh jeng, itu kan pemulung yang itu, pemulung
yang mulai terkenal disana sini. Pemulung apa itu namanya. Ah ya, pemulung
rindu katanya ya? “ bisik seorang emak-emak kepada emak-emak lain dengan begitu
semangat.
“ Oohh yang itu, eh tapi kok malah
sekarang dia jadi penjual apa itu, gak jelas banget “ imbuh emak yang satu.
“ Ah, bodo amat. Peduli apa aku
sama dia. Hidup hidup dia kok malah kita yang pusing, hellooo... kaya gak ada
kerjaan lain saja “ timpal emak-emak lain dengan ekspresi super ketus.
Mungkin bisikan mereka pelan.
Layaknya bisik-bisik tetangga yang mengganggu ketenangan kumbang di taman.
Namun telinga yang begitu sensitif ini masih sanggup untuk mendengarnya dengan
jelas. Itu memang tak menyakitkan. Tak membuat telinga berdarah, tak juga
membisingkan. Hanya saja membuat langkah kakiku semakin berat untuk terus beranjak. Apa boleh buat, aku
harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Perjalanan hijrah menuju kesejahteraan.
Perjalanan dikala senja seperti ini kurasa amat melelahkan. Namun Aku terus
berusaha merayu kakiku agar mau terus melangakah. Menyusuri jalan yang
terkadang nanjak, kadang nanjak banget. Dan kadang nurun, nurun banget. Kadang
berkelok, tak jarang pula menemui berbagai tikungan. Mulai dari tikungan yang
biasa biasa saja sampai tikungan tajam. Butuh kehati-hatian yang ekstra untuk
melewatinya.
Melihatku kelelahan, awanpun ikut
bersedih. Dia mulai terlihat sendu dan kelabu. Tak lama kemudian suara
tangisnya mulai terdengar menggelegar. Dan dalam hitungan detik ahirnya
tangisannya jatuh pula. Mulai rintik rintik sampai air bergelombang. Ah,
sialan. Kenanganku jadi basah kuyup begini oleh tangisan awan. Berulang kali ku
mengutuki ulah sang awan. Seraya menggerutu dalam hati. “Kenapa juga kau harus
menangis sekarang wahai awan. Siapa yang membuatmu menangis? Apakah kamu tak
kasihan kepadaku. Sejak tadi aku berusaha untuk menjual kenangan kenanganku
untuk bertahan hidup. Apa kamu tau itu wahai awan ?“
Memang dasar awan sialan. Tak
pernah peduli terhadap nasib seorang pemulung rindu. Tak peduli dengan
perjuanganku yang ingin menjadi penjual kenangan. Ah. Kenapa juga ini jalan
jadi mulai terlihat remang remang. Jangan-jangan ini jubah hitam langit sudah
menutupi jingganya senja. Tak adil, tak sebanding. Dua lawan satu. Jubah hitam bersekongkol
dengan awan yang menangis. Sedangkan aku sendirian. Apa iya aku harus
bertanding melawan mereka berdua?. Benar benar keadilan tak berpihak kepadaku
kali ini. Lagi lagi apa boleh buat. Aku siapa? Mereka siapa? Aku punya apa?.
Aku tak bawa apa apa. Mantel plastik saja aku tak punya. Aku pasrah, kubiaran
kenangan kenangankuku basah oleh guyuran tangisan awan. Dan aku kini duduk
termenung ditepian jalan ini. Berharap ada secercah cahaya muncul. Walau
sebatas cahaya kunang kunangpun aku mau. Aku benar benar pasrah sekarang. Tak
berharap apa apa lagi. Tak berharap kepada siapa siapa lagi.
Malam semakin gelap, kunang kunang
tak ada satupun yang datang. Aku melenguh dan mengeluh pelan. Inikah perjuangan
untuk meninggalkan profesi memunguti rindu? Tuhan. Aku tak punya apa-apa lagi
sekarang. Kecuali kenangan yang telah basah. Semua yang kupunya tak ada manfaat
apa-apa. Kurebahkan badan di tepian jalan ini dengan penuuh kepasrahan. Tanpa
sadar aku meraba seperti ada sesuatu yang mulai berontak di dalam saku
celanaku. Aku penasaran, apakah gerangan yang memulai suatu serangan. Mulai
kuraba dan kugenggam erat erat. Ku tarik keluar dari saku dan ku mulai melihat
secercah cahaya terang. Aku teringat. Inilah bekal yang tersisa. Seseuatu yang
bercahaya inilah yang akan terus menemaniku sampai aku menjual habis kenangan
kenanganku. Menukarkannya dengan janji janji kebahagiaan. Ya, inilah bekal
kesabaran yang masih tersisa.
Aku mulai bangkit dalam gelap
ditengah guyuran hujan. Dengan dua pikulan aku kembali menyusuri jalanan yang
kini semakin licin dan terjal. Aku memaksa kaki untuk melangkah lebih kuat.
Seketika Aku terperanjat dengan cahaya yang terlihat remang di kejauhan . AKu
mendekati cahaya itu. Cahaya berwarna seperti kuning, jingga, atau orange. Entahlah,
Aku tak terlalu memperdulikan warnanya. Kulihat di celah-celah cahaya itu seseorang
dengan nyanyiannya yang terdengar merdu. Ada sebingkis harapan yang menanti di
depan. Semakin kudekati semakin aneh kurasakan. Kemana cahaya yang mendamaikan
itu?. Kemana suara yang merdu itu?. Aku sudah sempat bahagia saat mendengar
suara itu. Suara yang tak asing kudengar. Suara yang dulu meninabobokanku dalam
keindahan. Suara yang mendamaikan hatiku. Tetapi harus segera sirna saat
kumendekatinya.
Aku berhenti di titik terjauh yang
telah kutempuh. Tak ada yang aku dapati satupun, hanya fatamorgana. Aku
terhenti pada seonggok batu hitam besar nan lebar. Tak ada cahaya mendamaikan.
Tak ada nyanyian terdengar. Apakah ini yang disebut angan-angan? Ya, pelangi
selalu terlihat indah di atas kepala mereka. Tak pernah berpihak kepadaku. Dan
kini, dengan bekal terahirku aku tersungkur diatas batu. Aku terpekur dan
kembali terdiam disini, di atas batu ini. Aku lelah Tuhan. Badanku menggigil
kedinginan. Tetapi lebih dingin lagi
hatiku Tuhan. Aku pasrah Tuhan. Apapun yang akan terjadi kepadaku aku
rela Tuhan.
Dengan peluh di kening aku
hentikan perjalananku ini. Saking lelahnya aku sampai tertidur. Aku tertidur
pulas diatas batu, masih dibawah rintik hujan. Aku tak sadar berapa waktu yang
telah kulalui dalam lelap tidurku. Hingga suara itu. Ya, suara yang tak asing
lagi kudengar. Suara yang sempat memberi harapan palsu sesaat sebelum aku
tertidur. Suara itu benar benar membangunkanku. Suara itu membuat hatiku berubah
menjadi taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran.
“ Bang ” Tegurnya dengan lemah
lembut.
“ Eh, kamu ngapain disini dek ?” Aku
terkejut dan terbangun.
“ Abang bawa apa bang, abang
kenapa tidur disiini bang? “ Tanya suara itu penasaran
“Aku.. Aku sedang jualan rindu,
eh, maksudnya jualan kenangan dek” jawabku gugup.
“ Kenapa dijual bang. Emangnya
berapa harganya. Apa gak sia-sia kalo harus dijual bang. Abang pasti lelah ya
bang? “ tanya suara itu semakin penasaran.
Aku berjibaku dalam dialog dengan
suara yang entah dari mana asalnya itu. Dia menawar daganganku. Ibu, ada yang
menawar daganganku setelah sekian lama aku pasrah. Tapi Aku masih ragu, Aku tak
pernah tau apakah ini nyata. Apakah ini suara yang Aku rindu sejak dulu. Ah,
apa Aku sedang bermimpi. Kutampari pipiku, aiihh sakit. Ini bukan mimpi, ini
nyata.
“Bang, apakah kenangan abang boleh
adek tukar dengan masa depan bang? “ tiba tiba muncul sosok itu. Sosok yang
begitu miterius. Yang selalu mengganggu mimpi indahku, sosok yang bayangannya
saja bisa membuat hatiku ser-seran.
“Iya dek, abang mau. Dan apakah
kamu berkenan membuatkan secangkir kenangan yang manis buat abang dek ?”
“Iya bang adek mau, jangankan
secangkir kenangan yang manis bang, semangkung sup akan adek buatkan dari
janji-janji yang dulu pernah kita kumpulkan bersama bang.”
TAMAT.
0 komentar:
Posting Komentar