Get me outta here!

Rabu, 22 November 2017

RESIGN


         Senja ini aku ingin mengadu keberuntungan, berharap kebaikan langit akan turun mengamini doa dan harapanku. Dulu orang – orng telah mengenaliku sebagai seorang pemulung rindu yang ulung. Tetapi senja ini aku ingin benar-benar menhapus gelar pemulung rindu itu. Keyakinan yang begitu besar mengharuskanku untuk segera melangkahkan kaki dengan mantap, tanpa ada keragu raguan lagi di dalamnya. 


Mulailah kulangkahkan kaki meninggalkan sepetak bangunan yang menyedihkan. Tanpa menunggu lama langsung kupakai kostum kebanggan ini. Topi jerami yang sudah mulai lusuh dimakan usia. Kaos hitam kumal tanpa lengan, celana tiga perempat dengan resleting yang tak lagi berfungsi. Aku rasa ini sudah serasi sekali. Membuatku begitu yakin dengan apa yang akan aku lakukan.

Kumulai melangkah dengan pelan namun pasti, tanpa alas kaki. Kumulai menyusuri gang-gang kampung yang sudah sangat kuhafal ini. Bagaimana tidak, hampir seumur hidupku kuhabiskan disini, dikampung kebanggan ini, ditempat yang tak menjanjikan mimpi mimpi, namun bersahaja dengan berjuta arti. Saking hafalnya, bahkan aku sampai hafal dengan kebiasan – kebiasaan orang orang di sekitar gang sempit ini. Mulai dari bang Epe yang setiap sore pasti memainkan burung merpatinya. Bahkan sering tanpa sadar konsentrasi bang Epe hanya tertuju pada burung merpatinya itu. Sampai lupa kalau sarungnya telah berulang kali dia gulung ke atas, terus ke atas, terus dan terus, sampai wa maryam berteriak histeris saat melihat burungnya yang gagah.

Dengan membesarkan hatiku sendiri, aku mulai menjanjakan barang dagangan yang kuikat rapi sejak dari rumah. Sudah kutata pula didalam dua keranjang pikulanku, sebagian kutaruh dikeranjang bagian depan, dan sebagian lainnya lagi kutaruh dikeranjang bagian belakang. Aku mulai berseru nyaring. Kutawarkan barang daganganku kepada siapapun yang kutemui. Tak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, sedang bahagia atau sedang dirundung duka. Pokoknya siapapun yang kujumpai pasti kutawari barang daganganku ini. 

Ya, aku jualan kenangan, senja ini. Satu profesi yang kupikir mulia sekali. Bagaimana tidak, bahkan “ pekerjaan ini lebih mulia dua puluh tujuh derajat dibanding dengan pemulung rindu” gumamku dalam hati.

Naaaaang... Kenangaaaaannnn !!!!
Suaraku mulai menyalak lantang. Memecahkan keheningan senja di perkampungan pinggir kota kecamatan ini. Dalam hati aku selalu berharap akan ada keberuntungan menghampiriku. Aku berharap akan ada orang yang berbaik hati mau membeli kenangan- kenanganku ini. Setelah sekian lama ku berteriak menawarkan anuku, ternyata hasilnya adalah nihil. Setiap orang yang berpapasan denganku tak ada yang menggubris sedikitpun. Mereka lebih memilih acuh dan tak memperhatikan sedikitpun dengan apa yang kupikul sejak berjam jam lalu. Semua orang yang kulewati bahkan terbengong dan diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tak bergeming saat aku melintas dihadapan mereka dan menawarkan anuku. Malang sekali nasibku senja ini.

Tidak hanya berhenti disitu, bahkan sekumpulan emak-emak yang sedang sibuk menyuapi anak anaknya sempat berbisik pelan.
 “ eh jeng, itu kan pemulung yang itu, pemulung yang mulai terkenal disana sini. Pemulung apa itu namanya. Ah ya, pemulung rindu katanya ya? “ bisik seorang emak-emak kepada emak-emak lain dengan begitu semangat.
“ Oohh yang itu, eh tapi kok malah sekarang dia jadi penjual apa itu, gak jelas banget “ imbuh emak yang satu.
“ Ah, bodo amat. Peduli apa aku sama dia. Hidup hidup dia kok malah kita yang pusing, hellooo... kaya gak ada kerjaan lain saja “ timpal emak-emak lain dengan ekspresi super ketus. 

Mungkin bisikan mereka pelan. Layaknya bisik-bisik tetangga yang mengganggu ketenangan kumbang di taman. Namun telinga yang begitu sensitif ini masih sanggup untuk mendengarnya dengan jelas. Itu memang tak menyakitkan. Tak membuat telinga berdarah, tak juga membisingkan. Hanya saja membuat langkah kakiku semakin berat  untuk terus beranjak. Apa boleh buat, aku harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Perjalanan hijrah menuju kesejahteraan. Perjalanan dikala senja seperti ini kurasa amat melelahkan. Namun Aku terus berusaha merayu kakiku agar mau terus melangakah. Menyusuri jalan yang terkadang nanjak, kadang nanjak banget. Dan kadang nurun, nurun banget. Kadang berkelok, tak jarang pula menemui berbagai tikungan. Mulai dari tikungan yang biasa biasa saja sampai tikungan tajam. Butuh kehati-hatian yang ekstra untuk melewatinya.

Melihatku kelelahan, awanpun ikut bersedih. Dia mulai terlihat sendu dan kelabu. Tak lama kemudian suara tangisnya mulai terdengar menggelegar. Dan dalam hitungan detik ahirnya tangisannya jatuh pula. Mulai rintik rintik sampai air bergelombang. Ah, sialan. Kenanganku jadi basah kuyup begini oleh tangisan awan. Berulang kali ku mengutuki ulah sang awan. Seraya menggerutu dalam hati. “Kenapa juga kau harus menangis sekarang wahai awan. Siapa yang membuatmu menangis? Apakah kamu tak kasihan kepadaku. Sejak tadi aku berusaha untuk menjual kenangan kenanganku untuk bertahan hidup. Apa kamu tau itu wahai awan ?“

Memang dasar awan sialan. Tak pernah peduli terhadap nasib seorang pemulung rindu. Tak peduli dengan perjuanganku yang ingin menjadi penjual kenangan. Ah. Kenapa juga ini jalan jadi mulai terlihat remang remang. Jangan-jangan ini jubah hitam langit sudah menutupi jingganya senja. Tak adil, tak sebanding. Dua lawan satu. Jubah hitam bersekongkol dengan awan yang menangis. Sedangkan aku sendirian. Apa iya aku harus bertanding melawan mereka berdua?. Benar benar keadilan tak berpihak kepadaku kali ini. Lagi lagi apa boleh buat. Aku siapa? Mereka siapa? Aku punya apa?. Aku tak bawa apa apa. Mantel plastik saja aku tak punya. Aku pasrah, kubiaran kenangan kenangankuku basah oleh guyuran tangisan awan. Dan aku kini duduk termenung ditepian jalan ini. Berharap ada secercah cahaya muncul. Walau sebatas cahaya kunang kunangpun aku mau. Aku benar benar pasrah sekarang. Tak berharap apa apa lagi. Tak berharap kepada siapa siapa lagi.

Malam semakin gelap, kunang kunang tak ada satupun yang datang. Aku melenguh dan mengeluh pelan. Inikah perjuangan untuk meninggalkan profesi memunguti rindu? Tuhan. Aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Kecuali kenangan yang telah basah. Semua yang kupunya tak ada manfaat apa-apa. Kurebahkan badan di tepian jalan ini dengan penuuh kepasrahan. Tanpa sadar aku meraba seperti ada sesuatu yang mulai berontak di dalam saku celanaku. Aku penasaran, apakah gerangan yang memulai suatu serangan. Mulai kuraba dan kugenggam erat erat. Ku tarik keluar dari saku dan ku mulai melihat secercah cahaya terang. Aku teringat. Inilah bekal yang tersisa. Seseuatu yang bercahaya inilah yang akan terus menemaniku sampai aku menjual habis kenangan kenanganku. Menukarkannya dengan janji janji kebahagiaan. Ya, inilah bekal kesabaran yang masih tersisa.

Aku mulai bangkit dalam gelap ditengah guyuran hujan. Dengan dua pikulan aku kembali menyusuri jalanan yang kini semakin licin dan terjal. Aku memaksa kaki untuk melangkah lebih kuat. Seketika Aku terperanjat dengan cahaya yang terlihat remang di kejauhan . AKu mendekati cahaya itu. Cahaya berwarna seperti kuning, jingga, atau orange. Entahlah, Aku tak terlalu memperdulikan warnanya. Kulihat di celah-celah cahaya itu seseorang dengan nyanyiannya yang terdengar merdu. Ada sebingkis harapan yang menanti di depan. Semakin kudekati semakin aneh kurasakan. Kemana cahaya yang mendamaikan itu?. Kemana suara yang merdu itu?. Aku sudah sempat bahagia saat mendengar suara itu. Suara yang tak asing kudengar. Suara yang dulu meninabobokanku dalam keindahan. Suara yang mendamaikan hatiku. Tetapi harus segera sirna saat kumendekatinya. 

Aku berhenti di titik terjauh yang telah kutempuh. Tak ada yang aku dapati satupun, hanya fatamorgana. Aku terhenti pada seonggok batu hitam besar nan lebar. Tak ada cahaya mendamaikan. Tak ada nyanyian terdengar. Apakah ini yang disebut angan-angan? Ya, pelangi selalu terlihat indah di atas kepala mereka. Tak pernah berpihak kepadaku. Dan kini, dengan bekal terahirku aku tersungkur diatas batu. Aku terpekur dan kembali terdiam disini, di atas batu ini. Aku lelah Tuhan. Badanku menggigil kedinginan. Tetapi lebih dingin lagi  hatiku Tuhan. Aku pasrah Tuhan. Apapun yang akan terjadi kepadaku aku rela Tuhan.

Dengan peluh di kening aku hentikan perjalananku ini. Saking lelahnya aku sampai tertidur. Aku tertidur pulas diatas batu, masih dibawah rintik hujan. Aku tak sadar berapa waktu yang telah kulalui dalam lelap tidurku. Hingga suara itu. Ya, suara yang tak asing lagi kudengar. Suara yang sempat memberi harapan palsu sesaat sebelum aku tertidur. Suara itu benar benar membangunkanku. Suara itu membuat hatiku berubah menjadi taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran.

“ Bang ” Tegurnya dengan lemah lembut.
“ Eh, kamu ngapain disini dek ?” Aku terkejut dan terbangun.
“ Abang bawa apa bang, abang kenapa tidur disiini bang? “ Tanya suara itu penasaran
“Aku.. Aku sedang jualan rindu, eh, maksudnya jualan kenangan dek” jawabku gugup.
“ Kenapa dijual bang. Emangnya berapa harganya. Apa gak sia-sia kalo harus dijual bang. Abang pasti lelah ya bang? “ tanya suara itu semakin penasaran.

Aku berjibaku dalam dialog dengan suara yang entah dari mana asalnya itu. Dia menawar daganganku. Ibu, ada yang menawar daganganku setelah sekian lama aku pasrah. Tapi Aku masih ragu, Aku tak pernah tau apakah ini nyata. Apakah ini suara yang Aku rindu sejak dulu. Ah, apa Aku sedang bermimpi. Kutampari pipiku, aiihh sakit. Ini bukan mimpi, ini nyata.

“Bang, apakah kenangan abang boleh adek tukar dengan masa depan bang? “ tiba tiba muncul sosok itu. Sosok yang begitu miterius. Yang selalu mengganggu mimpi indahku, sosok yang bayangannya saja bisa membuat hatiku ser-seran.
“Iya dek, abang mau. Dan apakah kamu berkenan membuatkan secangkir kenangan yang manis buat abang dek ?”
“Iya bang adek mau, jangankan secangkir kenangan yang manis bang, semangkung sup akan adek buatkan dari janji-janji yang dulu pernah kita kumpulkan bersama bang.”

TAMAT.

0 komentar:

Posting Komentar