Tuhan
menciptakan manusia sebagai khalifah (
pemimpin ) di muka bumi ini. Menurut riwayat, Tuhan pernah menciptakan makhluk
di bumi sebelum manusia. Namun mereka saling menumpahkan darah dan berbuat
kerusakan. Karena itulah Tuhan memusnahkan peradaban mereka. Lalu
menggantikannya dengan manusia yang ada sekarang ini. Tuhan menciptakan manusia
disertai dengan akal, akhlak dan nafsu. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya?
Manusia berulah dengan modal nafsunya. Mengumpulkan segala yang ada dan
memenuhi hawa nafsunya untuk melakukan sebuah kerusakan di muka bumi. Maka, benar
kata kitab itu yang turun ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu yang mengatakan
bahwa :
“ Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan tangan manusia,
supaya Alloh menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat (baca musibah) dari
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.ar-Rum
: 41)
Benar
juga kata bang Ebit G.ade yang tak
menyalahkan bencana yang datang, tetapi justru manusianya. Sehingga jika
disuruh bertanya, ya tanyakan pada rumput yang bergoyang. Tahukah kamu makna
rumput yang bergoyang? Jawabannya adalah karena ulah tangan manusia. Kerusakan
di darat dan di laut menjadi semakin tampak.
Dimana
bumi dipijak disitu langit dijunjung. Dan disini kami memijakan tanah. Di tanah
air Indonesia tercinta. Indonesia istimewa, indonesia primadona khatulistiwa.
Indonesia diciptakan dengan berjuta keindahan.
Menurut pujangga Indonesia diciptakan saat Tuhan tersenyum. Kata pepatah
Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi
. Kolamnya kolam susu, batang kayu ditanam jadi tumbuhan. Hasil bumi melimpah
ruah. Kekayaan bahari yang tak terhitung jumlahnya.
Indonesia
kaya, indonesia adalah serpihan surga yang terlempar ke hamparan bumi.
Indonesia kaya budaya, kaya bahasa, kaya segala galanya. Pertanyaannya,
kemanakah kekayaan itu semua? Di irian jaya yang katanya ada gunung emas, itu
diambil oleh siapa? Apa karena Indonesia yang terlalu bodoh dan mau dibohongi
oleh orang-orang sana yang pintar nan licik. Oh, bukan? Ini bukan pembodohan,
ini keterbatasan sumber daya manusia. Ini ketidakseimbangan antara
keterlimpahan sumber daya alam dengan sumber daya manusianya. Sehingga kekayaan
sumber daya alam dimanfaatkan oleh manusia manusia yang berwawasan luas,
berpengetahuan tinggi, berambisi besar. Inilah indonesiaku.
Budaya,
bahasa, tradisi? Yang jumlahnya tak terhitung, lama kelamaan habis terkikis
oleh budaya konsumtif. Dibantai habis oleh budaya westernisasi atau budaya
kebarat baratan. Tergantikan oleh
budaya yang cengeng. Budaya yang musiman, budaya yang lebih kekinian katanya.
Kemana hilangnya kebudayaan bahasa dan tradisi itu semua? Bangga dengan budaya
negara lain, bangga dengan gaya yang kebarat baratan. Tetapi jengkel saat
budayanya sendiri direbut oleh tetangga sebelah. Inilah Indonesia, selamat
datang di Indonesia tercinta.
Dan
memang harus benar, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Disini
tempatku memijakan kaki, di sini kumenjunjung langit tinggi-tinggi. Di
kaliwedi, desaku tercinta ini. Tak kalah kaya dengan desa manapun. Kaya budaya,
bahasa, tradisi, sumber daya alam, sumber daya manusia. Tetapi tetap juga
diperdaya, dibantai habis oleh kejamnya kemajuan jaman edan. Dihabisi oleh
westernisasi. Dikelabuhi oleh orang orang berpengalaman dan berduit. Kekayaan-kekayaan
siapa? Yang mengambil siapa? Pernahkah kita sadar dengan itu semua.
Kita
mulai dari budaya. Apa boleh dikata, orang yang saat dirantauan makan nasi kucing.
Di desa sendiri gayanya mirip konglomerat dan artis-artis televisi. Lupa
dengan bahasa sendiri, pake lo guwe yang katanya keren banget itu. Terus ke pakaian,
mana ada lekton delton laging dan sejenisnya di desa ini kalau tak ditularkan
oleh para perantau itu. Sudahlah, tak perlu diperbincangkan. Ini urusan masing-masing,
ini pilihan mereka untuk meninggalkan kampung halamannya dengan alasan
memantaskan kehidupannya dan kelangsungan hidup keluarganya. Ini tidak salah,
dan ini benar. Mereka berangkat ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
karena memang di sini kurang terpenuhi mungkin. Atau karena berjuta alasan lain
yang tak akan pernah kumengerti. Karena belum pernah ku alami, ini hanya
pemikiranku yang cukup dangkal saja. Ini tentang tuntutan hidup katanya.
Tak
berhenti disitu, Keperihatinan muncul saat kekayaan alam juga dijarah oleh
mereka. Pendatang dari kota yang bekerjasama dengan penduduk lokal. Atau juga
penduduk lokal yang tak pernah puas mengumpulkan hartanya, tak pernah peduli
dengan keberlangsungan hidup anak cucunya. Mereka dengan serakah dan rakus
menghabisi seluruh sumber daya alam yang ada di desa. Peduli apa mereka sama
penduduk desa yang bodoh seperti saya. Cuma kasih uang saja pasti bisa diam dan
berkata iya bahkan bahagia. Uang adalah segalanya, kekayaan adalah rajanya.
Peduli apa dengan nasib anak sekolah, peduli apa sama ketersediaan udara segar.
Peduli apa sama ketenangan dan kesunyian asri pedesaan. Asal dapat uang banyak
apapun akan mereka lakukan. Ini adalah bisnis ini adalah investasi. Mengerti
apa orang desa dengan ini semua. (Nangis
kambi ngelus dada).
Penuduk
desa disuap dengan nasi yang basi, menyuap nasi yang telah berubah jadi bubur.
Penduduk desa adalah penduduk bodoh, kata mereka. Mereka mudah kita bodohi,
selama kita punya uang, kita pasti akan selalu menang. Aparat pemerintahan kita
lumuhkan dengan amplop. Mereka akan jadi pembicara yang cadel, pelo, gagu. Kita
ini orang hebat, selama kita punya uang dan menguasai kakuasaan. Kita adu domba
saja mereka, biar terjadi perang saudara. Selanjutnya kita bertepuk tangan
bersama atas kesuksesan kita. Apapun bisa kita lakukan, kita adalah pemenangnya,
karena senjata kita adalah uang. Orang desa itu tak tau apa apa tentang apa
yang kita lakukan, Kita kan orang yang berpengalaman dan orang yang bisa
mengendalaikan kekuasaan penguasa. Dengan catatan selama kita punya uang.
Tuhan,
inilah desaku. Desaku yang kucinta. Desa yang dulu kata ayahku adalah desa yang
sangat asri. Desa yang menjanjikan berjuta kehidupan dan penghidupan. Sungai
waktu dulu kata ayahku, adalah wahana bermain yang sangat mengasyikan.
Bagaimana tidak, airnya jernih, kedungnya dalam. Mandi di sungai pasti akan
menjadi hal yang sangat menyenangkan. Tempat kerbau-kerbau menggenangi badannya
yang panas. Tempat ibuku mencuci baju. Tempat bapakku mencari batu kali untuk
memenuhi kehidupanku. Tempat anak-anak mencari ikan. Menyenangkan sekali sungai
ini. Sungai yang menjanjikan keindahan, riak airnya menyenandungkan kedamaian.
Jernihnya airnya mendendangkan keasrian. Namun, namun itu dulu kata ayahku.
Dulu sebelum orang orang pintar berduit itu datang kesini.
Sekarang,
mana ada sungai yang menjanjikan keindahan dan keasrian. Hanya memandangnya
sudah membosankan dan menjenuhkan. Mana ada emak-emak mencuci di sungai. Mau
mencuci dengan air keruh? Mau mencuci dengan mencampuri dengan debu? Iya,
pakaian mereka kotor, tetapi tak seperti mencuci najis mugholadzoh juga kan. Mana ada anak main-main di sungai. Apa
yang mau dimainkan di sungai? Selain android kesukaannya sudah memanjakan
mereka di rumah. Sungai juga sudah tak menjanjikan apa-apa lagi. Ikan? Mana ada
ikan di sungai. Ikan tawes, ucengan, bogo. Kecebong pun enggan hidup di air
yang keruh nan dangkal. Terimakasih ayah, kau pernah menceritakan keindahan
sungai ini. Setidaknya aku pernah mendengar ceritanya. Walau itu hanya sebatas
cerita.
Hutan,
alas, tempat anak anak mencari berbagai macam buah. Jambu, nanas, mangga. Semua
telah entah kemana. Hutan tempat berburu burung, ayam alas, dan semua hewan
buruan. Tempat burung-burung berkicau dengan merdu. Setiap pagi sepanjang sore
burung berkicau bertasbih kepada tuhannya. Segala jenis burung bersuara merdu
ada disini. Burung-burung berbulu indah terbang kesana kemari. Tetapi itu dulu,
dulu sebelum para pemburu datang kemari. Sebelum pasar burung seramai saat ini.
Burung-burung melakukan migrasi besar-besaran ke pasar lalu ke dalam sangkar.
Terlihat bahagia sekali burung-burung itu disana. Memakan makanan yang telah
disediakan oleh manusia. Menikmatinya sambil mendengar tawar menawar dirinya.
Inilah
alamku, inilah desaku sekarang. Alas kebon yang semakin tandus, membuat bukit
bukit telanjang berdiri. Menahan malu dan kemaluannya dengan apa. Sedangkan
pohon dan rumput telah enggan bersemi kembali. Bukit-bukit benar-benar
telanjang dan malu bukan kepalang. Bukan hanya bukit, burung burungpun malu
bernyanyi. Tak ada panggung untuk mereka bernyanyi. Kalaupun ada, itu hanya
panggung sandiwara. Burung-burung takut bernyanyi, mata-mata telah mengintai
dimana-mana. Burung di alam bisu, tak bersuara, mereka bungkam. Suaranya telah
terbayar dan dibeli oleh manusia . Semakin bagus suaranya semakin mahal
harganya. Inilah alamku, inilah desa kabanggaanku.
Dimana Tuhanku, menitipkan aku
Nyanyi bocah bocah dikala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa
Damai saudaraku suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang jaya nusantara lama
Tentram kataraharja di sana
Bukit bukitpun telanjang berdiri
Pohon rumput enggan bersemi kembali.
Burung burungpun malu bernyanyi
Kuingin bukitku hijau kembali
Semenungpun tak sabar menanti
Do’akan ku ucapkan hari demi hari
Kapankah hati ini kapan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar