Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang
merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia,
paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal
: setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.
Hari ini begitu dunia dilanda
kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di
Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu,
ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin kesini, seperti
apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di
Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu
seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang
Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje.
Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul
Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia
selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau
Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri.
Semua santri kok melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara
khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia
ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh
Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka
akhirnya paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia,
Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu.
Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu,
ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran
Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak
ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu,
ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla
tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje
bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman.
Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia,
mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka
bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van
Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah,
namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya
ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk ,
korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling,
mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu
dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil,
disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah
dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini
namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat
Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak
paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune
miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua,
mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian
Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah
ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje,
orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan
di tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak
paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan,
dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia,
jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi
dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil
“Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak
yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari
rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini
saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak
disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang
dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini,
ke Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu
mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum
terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya,
diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang
berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam
keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa
di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa
kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang
menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara
sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda.
Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu
ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di
Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya
pintar-pintar dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku.
Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya
mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga
segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang
diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga
tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa
sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya
stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan
menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban,
orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang
membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu
itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang
Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria,
seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama,
karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya),
kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang
dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama.
Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal.
Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra
tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar
ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya
ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada
pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta
Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu
semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin,
ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah,
karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa.
Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah.
Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang
Brahma matinya harus moksa atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa.
Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya
menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi
kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya.
Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini,
jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang
mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa
mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari
Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua
sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap
arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi
dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng.
Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma
keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan
heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh
sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya ngepet . Sukmanya pergi
diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak
mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet
dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid
Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk
menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali
tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin
Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa
terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh
Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan,
Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di
ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung
Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin
Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka
pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan
Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu
menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak,
melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari
ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya
menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan
telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh
sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat
tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar
mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini
perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus
mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di
Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka
menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya
Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang.
Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan
Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya
putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya
Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan
Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak
mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel
Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda
begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana
caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath,
48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka
zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz
zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang
memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya
bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya
dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam
menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah,
tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada
istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau
menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun ,
disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu,
menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi
sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten.
Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit
mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi.
Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit,
butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak
main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun
berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa
inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan
Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian
mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa
memang begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja
tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat
lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi:
bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak
kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran.
Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling
sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan
dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup
harus bisa membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman
nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat.
Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang
dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat
pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan,
namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu
mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi
segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa
dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu
lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi
saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke
daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup
daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min:
67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan,
ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan
orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya
mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang
tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang
hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang
menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua
adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas
nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur
Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa
bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau
pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya
Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai
yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama
saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala
quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang
kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan
ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau
jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti
pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama;
sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak
pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari
barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang
rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu
senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan
blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya
habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan
seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo
, sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan
untuk imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti.
Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji,
pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau
ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah
mancing, potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah
dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk
tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya
asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di
nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan
bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang
Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula ,
menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu
apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang
berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu
mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas ,
sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau
sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi
dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau
tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga
beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung.
Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong.
Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa)
dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu
kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di
dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib
buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba,
ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir.
“Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”.
“Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang
dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau
tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung
dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian
jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh
malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti
tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan
Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek –
gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu.
Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah
Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang
bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang,
ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini
ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya
seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat
ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas
pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu
ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang
ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah
kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan
Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan
Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh
dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno,
keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu
berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut
kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan
Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh
Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam,
Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka
di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis
sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat.
Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang,
dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping
gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak
cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi
prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin,
lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah
duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun,
angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah
muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu
makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna
angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa
tarhamna lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok
di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang
perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima
kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di
urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya
dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat.
Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini
beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya
bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca
surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak
dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir
kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir
diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah.
Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan
dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang
sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka
pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan
dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas
mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala
mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini
karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka
illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali
untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan
cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi,
dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan
wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam
Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu
dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini
lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang
sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini
termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda
dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem
pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang
Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono
tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya.
"Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan
Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur
tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber.
Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul
pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu
ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung,
lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini
lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa
melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas
sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat.
Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat
kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir.
Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja
Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu
bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi,
belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di
Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan
Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di
Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke
semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan
di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut
wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya,
jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun
wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang
menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil
istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah
mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu
pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan
dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut
penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang
tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini
diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para
wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang
dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama.
Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama
Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul
Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya
muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH
Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad,
gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada
Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal
ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang
menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa
Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya
tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya
tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya
tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita
semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.
Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya
Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman
mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron
murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul
Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar,
Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid
Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan
Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim
Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad
Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid
Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq
Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid
Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah,
murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq,
murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir
hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid
Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya
ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara
mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah
itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada
mushaf. Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat
ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang
tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan
Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari
dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat
terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah
diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in
mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh
Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150
hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke
penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai
suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim”
keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ”
keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat
Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “
Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ”
keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “
Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot
” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh
membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil
magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’
Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini,
maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid
fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang
orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid
Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung
kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab
langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun,
dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat
haji diantar orang se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama
haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran.
Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di
Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum
pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di
rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama
kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir,
mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap
dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya.
Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca
Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak
bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab
mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan
mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para
ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat
jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak
‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian
tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia.
Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari
Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini
gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat
dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia,
jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari
Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada
ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di
Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya
katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia,
tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama
hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar
80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15
juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup
kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti
ajaran Rasulullah Muhammad saw.
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi
Demikian.
Bagaiamana
rasa sega brekatnya?
Enak bukan,
semoga setelah membaca menu makanan ini, rekan rekanita sekalian bisa merasakan
enaknya sega brekat. Karena ketahuilah bahwa manfaat seg brekat selain untuk
menghilangkan lapar juga dapat menyebabkan pikiran terang benderang serta
mengurangi efek pucet pada muka.
Terus
semangat untuk memberi nutrisi untuk diri sendiri.
Semoga
bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar