Get me outta here!

Rabu, 22 November 2017

“Me ZONE”



Minggu, 22 Maret 2022
Pagi yang cerah. Tetapi lebih cerah suasana hatiku. Karena aku jatuh cinta bukan tergantung  musim. Aku jatuh cinta setiap hari. Termasuk pagi ini, aku jatuh cinta bukan untuk pertama kalinya. Namun sayang, pagi ini aku tidak akan bercerita tentang cinta. Aku hanya ingin jalan-jalan. Setelah beberapa hari dijenuhkan oleh berbagai problema dan masalah, aku ingin membebaskan satu hariku untuk bertamasya, piknik, wisata. Kemana aku akan pergi pagi ini? Entahlah, aku masih belum mau memikirkannya. Lebih baik aku nikmati dulu secangkir coklat panas dan martabak manis ini. Mandi, lalu aku akan bergegas meninggalkan kesibukan hari ini. Ku ucapkan bye pada hari hari yang menjenuhkan.
            Sesuai dengan rencana, ya, rencana yang aku temukan tadi saat aku mandi. Saat aku duduk termenung tiada dinanti, aku menemukan suatu inspirasi tentang tujuanku melakukan perjalanan menyenangkan. Tak perlu menunggu lama, tak perlu berfikir dua kali. Kuambil sepeda itu, sepeda yang menyimpan banyak sejarah. Sepeda paling setia, yang pernah menemaniku berjuang melawan gelapnya malam. Melawan dinginnya terpaan hujan, melawan halilintar yang menyalak, berdebam lalu menghujam tak beraturan. Kunyalakan musik di smartphone, memasang handsfree dan aku siap menikmati pagi ini dengan sepeda ini.
            Kukayuh pedal sepeda, dan kuhirup udara segar pedesaan. Mulai tercium  bau padi yang mulai menguning, harum. Sesekali menyapa pak tani, dan tersenyum ta’dzim untuk mereka. Tak kenal lelah, aku terus mengayuh sepedaku hingga tanjakan menghadang. Tanjakan yang begitu terjal, aku memutuskan untuk menitipkan sepedaku ke salah satu rumah warga. Lalu berjalan menyusuri tanjakan yang dihiasi rumput di kanan kirinya. Huuuh.. sampailah pada tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi. Ini tempat faforitku saat kecil dulu. Aku dan teman-teman selalu bermain ke sini untuk berteriak sekeras kerasnya. Aku bermain kesini hanya untuk membawa nasi dan dimakan disini, itu asik sekali kawan. Atau hanya sekedar menerbangkan layang-layang. Kutarik ulur layang-layangku. Setelah lelah, kugulung benangnya, kudekap layang-layang kesayanganku, lalu kugendong menyusuri terjalnya jalan menuju rumah. Pulang bersama layang-layang memang menyenangkan. Aduh, mesra sekali aku. Pulang menggendong layang-layang yang sudah kutarik ulur, kudekap, dan kini ku gendong. Ahaaydee..
            Tetapi kali ini, aku datang ke tempat ini bukan untuk hal itu semua. Aku tidak membawa nasi, aku tidak membawa layang-layang. Dan akupun tak ingin berteriak sekeras kerasnya disini. Aku hanya ingin bertamasya. Disinilah tempat yang paling indah untuk mengenang masa lalu. Hmmm.. Sepertinya tak banyak yang berubah dengan tempat ini, hanya bukit-bukit disana yang mulai berlubang, digali oleh investor-investor dari kota. Memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tak memperdulikan akibat yang ditimbulkannya, untuk mereka yang bertahan hidup disekitarnya. Untuk anak dan cucu mereka. Bapak investor tak akan pernah peduli dengan nasib generasi selanjutnya. Tak peduli akankah anak cucunya masih bisa melihat burung berkicau dengan merdu disetiap pagi. Tak peduli apakah anak cucu mereka masih bisa menikmati segarnya udara perbukitan. Asal perut kenyang, apapun mau dilakukan. Tugas mereka adalah memenuhi kebutuhan keluarga. Memuaskan hasrat untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
            Selain lubang-lubang dibukit itu, semua masih terlihat sama. Tak ada perubahan berarti lainnya. Termasuk tempat itu, tempat yang dulu pernah kita bangun bersama. Rumah-rumahan yang kita bangun diatas pohon pinus. Wujudnya sudah mulai kusam, kayunya terlihat rapuh. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan memanjatnya. Ah, tempat ini sungguh membuat kenangan-kenangan masalalu semakin beterbangan tak beraturan. Ditambah dengan lagu yang sedari tadi kudengarkan. Ini jelas mengingatkanku pada masa masa itu. Drive : bersama bintang, Wali: Cari jodoh, Titi Kamal: sayang, Acha Ft Irwan syah : My Heart, Derby Romero : Tuhan tolong, semua lagu seakan begitu mendukung acara tamasya ku kali ini. Wah, asik sekali kawan.
            Aku sudah mulai duduk di rumah pohon ini saat burung kutilang bernyanyi dengan merdu di dahan pohon pinus. Beserta anak dan istrinya, burung kutilang bernyanyi. Bersiul siul sepanjang hari, trilili.. lili ..liliii.. Wah, sungguh keluarga burung kutilang yang sakinah mawaddah warohmah. Selamat yah burung kutilang. Bolehkah kali ini aku iri padamu. Sudahlah, wisataku kali ini bukan untuk menemui burung kutilang, tapi untuk mengenang masalalu. Masa yang telah berlalu. Suatu tempat yang begitu jauh, yang tak akan pernah kembali dan tak akan pernah sanggup ku kunjungi lagi. Aku hanya mengenangnya, bukan menuju kesana. Setidaknya dengan tempat yang sama, aku bisa merasakan kejadian yang indah, 14 tahun yang lalu disini, di tempat ini.
            Aku tergopoh mendekatimu yang sedari tadi sudah menunggu disini, dibawah pohon ini. Kemarin sore kita berjanji untuk menaiki pohon ini bersama-sama. Aku datang dengan membawa setaman bunga bermekaran warna-warni di hatiku. Dan kau tersenyum melihatku yang datang dengan peluh menetes di pelipisku. Ah, sunyummu mengalihkan duniaku. Betapa bahagianya aku di waktu itu. Kita bawa bunga ini naik kesini. Ya, ini bunga yang dulu kau tiup mahkotanya, sehingga beterbangan membawa mimpi-mimpi kita, lalu jatuh di tebing itu. Dan kini aku tak mau meniupnya. Kubiarkan bunga ini utuh, aku tak mau melihat mahkota bunga ini terbang lalu terjatuh. Kasihan sekali melihat mahkota yang telah terbang indah, lalu jatuh tanpa ada yang memperdulikannya. Bahkan seekor semut pun enggan untuk melihatnya. Acuh dan masa bodoh.


            Anganku terbang bersama burung serwiti, melintasi birunya cakrawala. Terhenti sesaat dan teringat berbagai kenangan menyakitkan yang datang sesudahnya. Aku yang harus mengalah. Aku yang harus berpura-pura bahagia walau hati terluka. Untuk arti sebuah persahabatan dan arti cinta monyetnya anak SMP. Penat sekali jika harus mengingat saat- saat itu. Penghianatan tak terlihat, menusuk dari samping. Ah, sudahlah. Akupun tak pernah tau akan apa yang sebenarnya terjadi. Apa katanya dulu padaku? Buah delima lah, bimbang lah. Omong kosong. Penghianatan yang menyakitkan kawan.
            Beruntung sebelum aku benar-benar terjerumus dalam lembah kesedihan yang berkepanjangan. Waktu mengantarkanku untuk menjauh dari jibaku kisah yang memilukan itu. Aku pergi menjauh, menapaki tanah orang. Sendiri, seorang anak kecil belajar bertahan hidup di tanah orang. Dengan bekal seadanya dan dengan kesabaran sebanyak banykanya. Ashhobru jamiilun, man shobaro dzofaro. Kujalani hari hari baru, meninggalkan kampung halamanku. Meninggalkan kisah pahit yang tergores di hati yang masih unyu. Sedangkan kamu, aku tak tahu apa yang terjadi denganmu bersamanya. Dia teman baikku, teman terdekatku. Entahlah, persetan apa yang terjadi selanjutnya. Aku seperti bandar judi yang kalah taruhan. Berjalan sempoyongan, limbung.
Sial, meskipun berulang kali kumencoba untuk melupakan semua itu, tapi malah semakin sering bayangmu menghantui malamku. Membuatku berimajinasi, mengingat apapun yang berkaitan denganmu. Tulisan-tulisanmu yang kini aku bawa, bau parfummu yang masih aku ingat. Semua tentangmu menemaniku di keterasingan merindumu bertahun- tahun lamanya di tanah peraduan. Satu tahun dua tahun tiga tahun. Sampai aku benar-benar lupa denganmu. Aku benar-benar bisa melupakan apapun yang pernah terjadi. Aku memaafkan semuanya. Tapi apa? Kamu datang lagi seperti medi.  Muncul di hari hari saat aku tak mencari. Kamu datang lewat buah kelapa muda yang aku petik. Dan kisah itu terulang lagi. Ah, dunia sempit sekali. Lubang yang sama.
            Jembatan, berpilin waktu berputar searah jarum jam, tiba-tiba aku sudah duduk di atas jembatan. Jembatan yang benar-benar tak asing bagiku. Jembatan dimana aku bisa melihat aku dan kamu di tepian sungai. Aku tahu, saat itu rasaku sudah tak seperti dulu. Aku hanya bersembunyi di balik topeng hitamku. Aku adalah penjahat kelas kakap yang menyamar menjadi arjuna bagimu. Aku adalah penyamun, aku adalah perampok yang akan memporak-porandakan hidupmu. Dan botol mizone berwarna biru itu adalah saksi atas kekejamanku. Andai kau tau apa yang ada di dalam botol itu. Kau akan lari meninggalkanku. Tetapi apa, kau malah seakan senang. Mempersilahkanku masuk menuju rumahmu lebih dalam. Menjarah apapun yang ada didalamnya. Bahkan hampir kuambil sesuatu apa yang mirip perhiasan itu. Benar-benar aku seorang penjahat.
            Sudahlah, botol mizone biru sudah hanyut bersama derasnya aliran sungai. Entah sampai laut atau justru tersangkut di tepian sungai. Ditemukan oleh seorang pemulung rindu. Dan dijualnnya pada pengepul kenangan untuk di lelang di pasar loak. Ah, aku takut akan ada yang membuka botol itu. Lalu memfiralkan apa yang ada di dalamnya? Aku tenar, aku jadi buronan polisi hutan. Aku jadi buronan para mertua. Ah, kacau. Untung sejauh ini tak ada yang menemukan botol itu. Atau jangan jangan, botol itu sudah ditemukan oleh seorang putri duyung. Dia menemukannya untuk selanjutnya menyimpannya. Dan suatu saat dia akan datang menemuiku dan tiba-tiba mengajaku untuk membangun rumah tangga. Ah, aku ngigau ini. Kurang tidur, kurang kopi mungkin. Tapi aku nggak mabuk, sungguh.
            Andai kau tahu, dalam botol mizone itu tersimpan tabiat buruk ku, Hanya ku tutupi dengan pasir-pasir cintaku. Kupendam dengan lumpur kenangan sebelum kulemparkan ke tengah sungai. Dan kau sampai saat ini tak pernah tau itu. Malah kau seakan terbuai asmara yang tak pernah ada sebelumnya. Botol mizone mengantarkan kita untuk berkunjung ke berbagai tempat. Mengantarkan kita pada titik terdekat yang pernah kita kunjungi. Meninggalkan cerita pahit yang pernah terjadi diantara kita. Membayar lunas rinduku untukmu saat kau sama sekali tak menyadarinya. Menjawab do’a do’aku ditengah malam saat kau sama sekali tak menyadarinya.
            Hingga ahirnya. Kaupun tahu, kau mngerti akan keganjilan yang terjadi. Aku telah beranjak jauh meninggalkan kisah pahit itu. Dan aku enggan untuk kembali. Aku terlalu yakin dengan harapan-harapan masa depan yang kudapat di tanah peraduan. Janji di sana lebih manis, airnya juga lebih jernih. Dan tentunya jalannya lebih luas, menurutku. Aku sebenarnya tak akan mau mengulang masalalu yang benar-benar telah berlalu. Cuma saja kau memaksaku untuk membenahi rumah pohon ini yang telah kau hancurkan. Aku mencoba menata kembali puing-puing kayu yang telah berjatuhan. Aku tak mampu, untuk mengembalikan rumah pohon ini menjadi seperti dulu. Kau yang menghancurkan, aku yang harus membenahinya sekarang. Bahkan dulu kamu pergi hanya dengan menyisakan tanda tanya. Sudahlah, ini masa lalu gaes. Intinya aku berterimakasih padamu. Kau telah memberi warna-warni dalam perjalananku. Walau ahir-ahir kau memberi warna hitam di tengah perjalananku.
            Tak apa, aku tahu ada sebagian jalanku yang berwarna hitam. Aku tau kau yang memberi warna itu. Tapi aku akan terus mewarnai hariku dengan warna yang lebih indah, pola-pola yang memikat hati untuk mengenangnya di lain hari. Semua ini memang berawal dari friendzone dan berahir dengan mezone dan we zone. Jangan pernah menyesal, peluk semua kisah pahit. Berdamailah dengan diri sendiri. Akan ada pelangi setelah hujan.
            Matahari sudah mulai bergeser ke barat, waktu terus berjalan dengan kecepatan yang biasanya. Ini perjalanan yang menyenangkan. Ini akan membuat hari-hariku ke depan lebih cerah, lebih bahagia dan berdamai dengan segala urusan. Memeluk kembali masa lalu dan menjadikan mozaik di dalam hati. Ahirnya kuputuskan untuk turun dari atas pohon di atas bukit ini. Ku ambil sepeda yang kutitipkan tadi di rumah warga di dekat tanjakan yang teramat terjal. Dan aku PULANG. Aku PULANG.

0 komentar:

Posting Komentar