Minggu, 22 Maret 2022
Pagi yang cerah. Tetapi lebih cerah
suasana hatiku. Karena aku jatuh cinta bukan tergantung musim. Aku jatuh cinta setiap hari. Termasuk
pagi ini, aku jatuh cinta bukan untuk pertama kalinya. Namun sayang, pagi ini
aku tidak akan bercerita tentang cinta. Aku hanya ingin jalan-jalan. Setelah
beberapa hari dijenuhkan oleh berbagai problema dan masalah, aku ingin
membebaskan satu hariku untuk bertamasya, piknik, wisata. Kemana aku akan pergi
pagi ini? Entahlah, aku masih belum mau memikirkannya. Lebih baik aku nikmati
dulu secangkir coklat panas dan martabak manis ini. Mandi, lalu aku akan
bergegas meninggalkan kesibukan hari ini. Ku ucapkan bye pada hari hari yang
menjenuhkan.
Sesuai
dengan rencana, ya, rencana yang aku temukan tadi saat aku mandi. Saat aku
duduk termenung tiada dinanti, aku menemukan suatu inspirasi tentang tujuanku
melakukan perjalanan menyenangkan. Tak perlu menunggu lama, tak perlu berfikir
dua kali. Kuambil sepeda itu, sepeda yang menyimpan banyak sejarah. Sepeda
paling setia, yang pernah menemaniku berjuang melawan gelapnya malam. Melawan
dinginnya terpaan hujan, melawan halilintar yang menyalak, berdebam lalu
menghujam tak beraturan. Kunyalakan musik di smartphone, memasang handsfree dan
aku siap menikmati pagi ini dengan sepeda ini.
Kukayuh
pedal sepeda, dan kuhirup udara segar pedesaan. Mulai tercium bau padi yang mulai menguning, harum.
Sesekali menyapa pak tani, dan tersenyum ta’dzim untuk mereka. Tak kenal lelah,
aku terus mengayuh sepedaku hingga tanjakan menghadang. Tanjakan yang begitu
terjal, aku memutuskan untuk menitipkan sepedaku ke salah satu rumah warga.
Lalu berjalan menyusuri tanjakan yang dihiasi rumput di kanan kirinya. Huuuh..
sampailah pada tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi. Ini tempat
faforitku saat kecil dulu. Aku dan teman-teman selalu bermain ke sini untuk
berteriak sekeras kerasnya. Aku bermain kesini hanya untuk membawa nasi dan
dimakan disini, itu asik sekali kawan. Atau hanya sekedar menerbangkan layang-layang.
Kutarik ulur layang-layangku. Setelah lelah, kugulung benangnya, kudekap
layang-layang kesayanganku, lalu kugendong menyusuri terjalnya jalan menuju
rumah. Pulang bersama layang-layang memang menyenangkan. Aduh, mesra sekali
aku. Pulang menggendong layang-layang yang sudah kutarik ulur, kudekap, dan
kini ku gendong. Ahaaydee..
Tetapi kali
ini, aku datang ke tempat ini bukan untuk hal itu semua. Aku tidak membawa
nasi, aku tidak membawa layang-layang. Dan akupun tak ingin berteriak sekeras
kerasnya disini. Aku hanya ingin bertamasya. Disinilah tempat yang paling indah
untuk mengenang masa lalu. Hmmm.. Sepertinya tak banyak yang berubah dengan
tempat ini, hanya bukit-bukit disana yang mulai berlubang, digali oleh
investor-investor dari kota. Memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tak
memperdulikan akibat yang ditimbulkannya, untuk mereka yang bertahan hidup
disekitarnya. Untuk anak dan cucu mereka. Bapak investor tak akan pernah peduli
dengan nasib generasi selanjutnya. Tak peduli akankah anak cucunya masih bisa
melihat burung berkicau dengan merdu disetiap pagi. Tak peduli apakah anak cucu
mereka masih bisa menikmati segarnya udara perbukitan. Asal perut kenyang,
apapun mau dilakukan. Tugas mereka adalah memenuhi kebutuhan keluarga.
Memuaskan hasrat untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Selain
lubang-lubang dibukit itu, semua masih terlihat sama. Tak ada perubahan berarti
lainnya. Termasuk tempat itu, tempat yang dulu pernah kita bangun bersama.
Rumah-rumahan yang kita bangun diatas pohon pinus. Wujudnya sudah mulai kusam,
kayunya terlihat rapuh. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan memanjatnya.
Ah, tempat ini sungguh membuat kenangan-kenangan masalalu semakin beterbangan
tak beraturan. Ditambah dengan lagu yang sedari tadi kudengarkan. Ini jelas
mengingatkanku pada masa masa itu. Drive : bersama bintang, Wali: Cari jodoh,
Titi Kamal: sayang, Acha Ft Irwan syah : My Heart, Derby Romero : Tuhan tolong,
semua lagu seakan begitu mendukung acara tamasya ku kali ini. Wah, asik sekali
kawan.
Aku sudah mulai
duduk di rumah pohon ini saat burung kutilang bernyanyi dengan merdu di dahan
pohon pinus. Beserta anak dan istrinya, burung kutilang bernyanyi. Bersiul siul
sepanjang hari, trilili.. lili ..liliii.. Wah, sungguh keluarga burung kutilang
yang sakinah mawaddah warohmah. Selamat yah burung kutilang. Bolehkah kali ini
aku iri padamu. Sudahlah, wisataku kali ini bukan untuk menemui burung
kutilang, tapi untuk mengenang masalalu. Masa yang telah berlalu. Suatu tempat
yang begitu jauh, yang tak akan pernah kembali dan tak akan pernah sanggup ku
kunjungi lagi. Aku hanya mengenangnya, bukan menuju kesana. Setidaknya dengan
tempat yang sama, aku bisa merasakan kejadian yang indah, 14 tahun yang lalu
disini, di tempat ini.
Aku tergopoh
mendekatimu yang sedari tadi sudah menunggu disini, dibawah pohon ini. Kemarin
sore kita berjanji untuk menaiki pohon ini bersama-sama. Aku datang dengan
membawa setaman bunga bermekaran warna-warni di hatiku. Dan kau tersenyum
melihatku yang datang dengan peluh menetes di pelipisku. Ah, sunyummu
mengalihkan duniaku. Betapa bahagianya aku di waktu itu. Kita bawa bunga ini
naik kesini. Ya, ini bunga yang dulu kau tiup mahkotanya, sehingga beterbangan
membawa mimpi-mimpi kita, lalu jatuh di tebing itu. Dan kini aku tak mau
meniupnya. Kubiarkan bunga ini utuh, aku tak mau melihat mahkota bunga ini
terbang lalu terjatuh. Kasihan sekali melihat mahkota yang telah terbang indah,
lalu jatuh tanpa ada yang memperdulikannya. Bahkan seekor semut pun enggan
untuk melihatnya. Acuh dan masa bodoh.
Anganku
terbang bersama burung serwiti, melintasi birunya cakrawala. Terhenti sesaat
dan teringat berbagai kenangan menyakitkan yang datang sesudahnya. Aku yang
harus mengalah. Aku yang harus berpura-pura bahagia walau hati terluka. Untuk
arti sebuah persahabatan dan arti cinta monyetnya anak SMP. Penat sekali jika
harus mengingat saat- saat itu. Penghianatan tak terlihat, menusuk dari
samping. Ah, sudahlah. Akupun tak pernah tau akan apa yang sebenarnya terjadi.
Apa katanya dulu padaku? Buah delima lah, bimbang lah. Omong kosong. Penghianatan
yang menyakitkan kawan.
Beruntung
sebelum aku benar-benar terjerumus dalam lembah kesedihan yang berkepanjangan.
Waktu mengantarkanku untuk menjauh dari jibaku kisah yang memilukan itu. Aku
pergi menjauh, menapaki tanah orang. Sendiri, seorang anak kecil belajar
bertahan hidup di tanah orang. Dengan bekal seadanya dan dengan kesabaran
sebanyak banykanya. Ashhobru jamiilun,
man shobaro dzofaro. Kujalani hari hari baru, meninggalkan kampung
halamanku. Meninggalkan kisah pahit yang tergores di hati yang masih unyu.
Sedangkan kamu, aku tak tahu apa yang terjadi denganmu bersamanya. Dia teman
baikku, teman terdekatku. Entahlah, persetan apa yang terjadi selanjutnya. Aku
seperti bandar judi yang kalah taruhan. Berjalan sempoyongan, limbung.
Sial, meskipun berulang kali
kumencoba untuk melupakan semua itu, tapi malah semakin sering bayangmu
menghantui malamku. Membuatku berimajinasi, mengingat apapun yang berkaitan
denganmu. Tulisan-tulisanmu yang kini aku bawa, bau parfummu yang masih aku
ingat. Semua tentangmu menemaniku di keterasingan merindumu bertahun- tahun
lamanya di tanah peraduan. Satu tahun dua tahun tiga tahun. Sampai aku
benar-benar lupa denganmu. Aku benar-benar bisa melupakan apapun yang pernah
terjadi. Aku memaafkan semuanya. Tapi apa? Kamu datang lagi seperti medi. Muncul di hari hari saat aku tak mencari. Kamu
datang lewat buah kelapa muda yang aku petik. Dan kisah itu terulang lagi. Ah,
dunia sempit sekali. Lubang yang sama.
Jembatan,
berpilin waktu berputar searah jarum jam, tiba-tiba aku sudah duduk di atas
jembatan. Jembatan yang benar-benar tak asing bagiku. Jembatan dimana aku bisa
melihat aku dan kamu di tepian sungai. Aku tahu, saat itu rasaku sudah tak
seperti dulu. Aku hanya bersembunyi di balik topeng hitamku. Aku adalah
penjahat kelas kakap yang menyamar menjadi arjuna bagimu. Aku adalah penyamun,
aku adalah perampok yang akan memporak-porandakan hidupmu. Dan botol mizone
berwarna biru itu adalah saksi atas kekejamanku. Andai kau tau apa yang ada di
dalam botol itu. Kau akan lari meninggalkanku. Tetapi apa, kau malah seakan
senang. Mempersilahkanku masuk menuju rumahmu lebih dalam. Menjarah apapun yang
ada didalamnya. Bahkan hampir kuambil sesuatu apa yang mirip perhiasan itu.
Benar-benar aku seorang penjahat.
Sudahlah,
botol mizone biru sudah hanyut bersama derasnya aliran sungai. Entah sampai
laut atau justru tersangkut di tepian sungai. Ditemukan oleh seorang pemulung
rindu. Dan dijualnnya pada pengepul kenangan untuk di lelang di pasar loak. Ah,
aku takut akan ada yang membuka botol itu. Lalu memfiralkan apa yang ada di
dalamnya? Aku tenar, aku jadi buronan polisi hutan. Aku jadi buronan para
mertua. Ah, kacau. Untung sejauh ini tak ada yang menemukan botol itu. Atau
jangan jangan, botol itu sudah ditemukan oleh seorang putri duyung. Dia
menemukannya untuk selanjutnya menyimpannya. Dan suatu saat dia akan datang
menemuiku dan tiba-tiba mengajaku untuk membangun rumah tangga. Ah, aku ngigau
ini. Kurang tidur, kurang kopi mungkin. Tapi aku nggak mabuk, sungguh.
Andai kau
tahu, dalam botol mizone itu tersimpan tabiat buruk ku, Hanya ku tutupi dengan
pasir-pasir cintaku. Kupendam dengan lumpur kenangan sebelum kulemparkan ke
tengah sungai. Dan kau sampai saat ini tak pernah tau itu. Malah kau seakan
terbuai asmara yang tak pernah ada sebelumnya. Botol mizone mengantarkan kita
untuk berkunjung ke berbagai tempat. Mengantarkan kita pada titik terdekat yang
pernah kita kunjungi. Meninggalkan cerita pahit yang pernah terjadi diantara
kita. Membayar lunas rinduku untukmu saat kau sama sekali tak menyadarinya. Menjawab
do’a do’aku ditengah malam saat kau sama sekali tak menyadarinya.
Hingga
ahirnya. Kaupun tahu, kau mngerti akan keganjilan yang terjadi. Aku telah
beranjak jauh meninggalkan kisah pahit itu. Dan aku enggan untuk kembali. Aku
terlalu yakin dengan harapan-harapan masa depan yang kudapat di tanah peraduan.
Janji di sana lebih manis, airnya juga lebih jernih. Dan tentunya jalannya
lebih luas, menurutku. Aku sebenarnya tak akan mau mengulang masalalu yang
benar-benar telah berlalu. Cuma saja kau memaksaku untuk membenahi rumah pohon
ini yang telah kau hancurkan. Aku mencoba menata kembali puing-puing kayu yang
telah berjatuhan. Aku tak mampu, untuk mengembalikan rumah pohon ini menjadi
seperti dulu. Kau yang menghancurkan, aku yang harus membenahinya sekarang.
Bahkan dulu kamu pergi hanya dengan menyisakan tanda tanya. Sudahlah, ini masa lalu
gaes. Intinya aku berterimakasih padamu. Kau telah memberi warna-warni dalam
perjalananku. Walau ahir-ahir kau memberi warna hitam di tengah perjalananku.
Tak apa, aku
tahu ada sebagian jalanku yang berwarna hitam. Aku tau kau yang memberi warna
itu. Tapi aku akan terus mewarnai hariku dengan warna yang lebih indah, pola-pola
yang memikat hati untuk mengenangnya di lain hari. Semua ini memang berawal
dari friendzone dan berahir dengan mezone dan we zone. Jangan pernah menyesal,
peluk semua kisah pahit. Berdamailah dengan diri sendiri. Akan ada pelangi
setelah hujan.
Matahari
sudah mulai bergeser ke barat, waktu terus berjalan dengan kecepatan yang
biasanya. Ini perjalanan yang menyenangkan. Ini akan membuat hari-hariku ke
depan lebih cerah, lebih bahagia dan berdamai dengan segala urusan. Memeluk
kembali masa lalu dan menjadikan mozaik di dalam hati. Ahirnya kuputuskan untuk
turun dari atas pohon di atas bukit ini. Ku ambil sepeda yang kutitipkan tadi
di rumah warga di dekat tanjakan yang teramat terjal. Dan aku PULANG. Aku
PULANG.
0 komentar:
Posting Komentar