Get me outta here!

Rabu, 22 November 2017

RESIGN


         Senja ini aku ingin mengadu keberuntungan, berharap kebaikan langit akan turun mengamini doa dan harapanku. Dulu orang – orng telah mengenaliku sebagai seorang pemulung rindu yang ulung. Tetapi senja ini aku ingin benar-benar menhapus gelar pemulung rindu itu. Keyakinan yang begitu besar mengharuskanku untuk segera melangkahkan kaki dengan mantap, tanpa ada keragu raguan lagi di dalamnya. 


Mulailah kulangkahkan kaki meninggalkan sepetak bangunan yang menyedihkan. Tanpa menunggu lama langsung kupakai kostum kebanggan ini. Topi jerami yang sudah mulai lusuh dimakan usia. Kaos hitam kumal tanpa lengan, celana tiga perempat dengan resleting yang tak lagi berfungsi. Aku rasa ini sudah serasi sekali. Membuatku begitu yakin dengan apa yang akan aku lakukan.

Kumulai melangkah dengan pelan namun pasti, tanpa alas kaki. Kumulai menyusuri gang-gang kampung yang sudah sangat kuhafal ini. Bagaimana tidak, hampir seumur hidupku kuhabiskan disini, dikampung kebanggan ini, ditempat yang tak menjanjikan mimpi mimpi, namun bersahaja dengan berjuta arti. Saking hafalnya, bahkan aku sampai hafal dengan kebiasan – kebiasaan orang orang di sekitar gang sempit ini. Mulai dari bang Epe yang setiap sore pasti memainkan burung merpatinya. Bahkan sering tanpa sadar konsentrasi bang Epe hanya tertuju pada burung merpatinya itu. Sampai lupa kalau sarungnya telah berulang kali dia gulung ke atas, terus ke atas, terus dan terus, sampai wa maryam berteriak histeris saat melihat burungnya yang gagah.

Dengan membesarkan hatiku sendiri, aku mulai menjanjakan barang dagangan yang kuikat rapi sejak dari rumah. Sudah kutata pula didalam dua keranjang pikulanku, sebagian kutaruh dikeranjang bagian depan, dan sebagian lainnya lagi kutaruh dikeranjang bagian belakang. Aku mulai berseru nyaring. Kutawarkan barang daganganku kepada siapapun yang kutemui. Tak peduli kaya atau miskin, tua atau muda, sedang bahagia atau sedang dirundung duka. Pokoknya siapapun yang kujumpai pasti kutawari barang daganganku ini. 

Ya, aku jualan kenangan, senja ini. Satu profesi yang kupikir mulia sekali. Bagaimana tidak, bahkan “ pekerjaan ini lebih mulia dua puluh tujuh derajat dibanding dengan pemulung rindu” gumamku dalam hati.

Naaaaang... Kenangaaaaannnn !!!!
Suaraku mulai menyalak lantang. Memecahkan keheningan senja di perkampungan pinggir kota kecamatan ini. Dalam hati aku selalu berharap akan ada keberuntungan menghampiriku. Aku berharap akan ada orang yang berbaik hati mau membeli kenangan- kenanganku ini. Setelah sekian lama ku berteriak menawarkan anuku, ternyata hasilnya adalah nihil. Setiap orang yang berpapasan denganku tak ada yang menggubris sedikitpun. Mereka lebih memilih acuh dan tak memperhatikan sedikitpun dengan apa yang kupikul sejak berjam jam lalu. Semua orang yang kulewati bahkan terbengong dan diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tak bergeming saat aku melintas dihadapan mereka dan menawarkan anuku. Malang sekali nasibku senja ini.

Tidak hanya berhenti disitu, bahkan sekumpulan emak-emak yang sedang sibuk menyuapi anak anaknya sempat berbisik pelan.
 “ eh jeng, itu kan pemulung yang itu, pemulung yang mulai terkenal disana sini. Pemulung apa itu namanya. Ah ya, pemulung rindu katanya ya? “ bisik seorang emak-emak kepada emak-emak lain dengan begitu semangat.
“ Oohh yang itu, eh tapi kok malah sekarang dia jadi penjual apa itu, gak jelas banget “ imbuh emak yang satu.
“ Ah, bodo amat. Peduli apa aku sama dia. Hidup hidup dia kok malah kita yang pusing, hellooo... kaya gak ada kerjaan lain saja “ timpal emak-emak lain dengan ekspresi super ketus. 

Mungkin bisikan mereka pelan. Layaknya bisik-bisik tetangga yang mengganggu ketenangan kumbang di taman. Namun telinga yang begitu sensitif ini masih sanggup untuk mendengarnya dengan jelas. Itu memang tak menyakitkan. Tak membuat telinga berdarah, tak juga membisingkan. Hanya saja membuat langkah kakiku semakin berat  untuk terus beranjak. Apa boleh buat, aku harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Perjalanan hijrah menuju kesejahteraan. Perjalanan dikala senja seperti ini kurasa amat melelahkan. Namun Aku terus berusaha merayu kakiku agar mau terus melangakah. Menyusuri jalan yang terkadang nanjak, kadang nanjak banget. Dan kadang nurun, nurun banget. Kadang berkelok, tak jarang pula menemui berbagai tikungan. Mulai dari tikungan yang biasa biasa saja sampai tikungan tajam. Butuh kehati-hatian yang ekstra untuk melewatinya.

Melihatku kelelahan, awanpun ikut bersedih. Dia mulai terlihat sendu dan kelabu. Tak lama kemudian suara tangisnya mulai terdengar menggelegar. Dan dalam hitungan detik ahirnya tangisannya jatuh pula. Mulai rintik rintik sampai air bergelombang. Ah, sialan. Kenanganku jadi basah kuyup begini oleh tangisan awan. Berulang kali ku mengutuki ulah sang awan. Seraya menggerutu dalam hati. “Kenapa juga kau harus menangis sekarang wahai awan. Siapa yang membuatmu menangis? Apakah kamu tak kasihan kepadaku. Sejak tadi aku berusaha untuk menjual kenangan kenanganku untuk bertahan hidup. Apa kamu tau itu wahai awan ?“

Memang dasar awan sialan. Tak pernah peduli terhadap nasib seorang pemulung rindu. Tak peduli dengan perjuanganku yang ingin menjadi penjual kenangan. Ah. Kenapa juga ini jalan jadi mulai terlihat remang remang. Jangan-jangan ini jubah hitam langit sudah menutupi jingganya senja. Tak adil, tak sebanding. Dua lawan satu. Jubah hitam bersekongkol dengan awan yang menangis. Sedangkan aku sendirian. Apa iya aku harus bertanding melawan mereka berdua?. Benar benar keadilan tak berpihak kepadaku kali ini. Lagi lagi apa boleh buat. Aku siapa? Mereka siapa? Aku punya apa?. Aku tak bawa apa apa. Mantel plastik saja aku tak punya. Aku pasrah, kubiaran kenangan kenangankuku basah oleh guyuran tangisan awan. Dan aku kini duduk termenung ditepian jalan ini. Berharap ada secercah cahaya muncul. Walau sebatas cahaya kunang kunangpun aku mau. Aku benar benar pasrah sekarang. Tak berharap apa apa lagi. Tak berharap kepada siapa siapa lagi.

Malam semakin gelap, kunang kunang tak ada satupun yang datang. Aku melenguh dan mengeluh pelan. Inikah perjuangan untuk meninggalkan profesi memunguti rindu? Tuhan. Aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Kecuali kenangan yang telah basah. Semua yang kupunya tak ada manfaat apa-apa. Kurebahkan badan di tepian jalan ini dengan penuuh kepasrahan. Tanpa sadar aku meraba seperti ada sesuatu yang mulai berontak di dalam saku celanaku. Aku penasaran, apakah gerangan yang memulai suatu serangan. Mulai kuraba dan kugenggam erat erat. Ku tarik keluar dari saku dan ku mulai melihat secercah cahaya terang. Aku teringat. Inilah bekal yang tersisa. Seseuatu yang bercahaya inilah yang akan terus menemaniku sampai aku menjual habis kenangan kenanganku. Menukarkannya dengan janji janji kebahagiaan. Ya, inilah bekal kesabaran yang masih tersisa.

Aku mulai bangkit dalam gelap ditengah guyuran hujan. Dengan dua pikulan aku kembali menyusuri jalanan yang kini semakin licin dan terjal. Aku memaksa kaki untuk melangkah lebih kuat. Seketika Aku terperanjat dengan cahaya yang terlihat remang di kejauhan . AKu mendekati cahaya itu. Cahaya berwarna seperti kuning, jingga, atau orange. Entahlah, Aku tak terlalu memperdulikan warnanya. Kulihat di celah-celah cahaya itu seseorang dengan nyanyiannya yang terdengar merdu. Ada sebingkis harapan yang menanti di depan. Semakin kudekati semakin aneh kurasakan. Kemana cahaya yang mendamaikan itu?. Kemana suara yang merdu itu?. Aku sudah sempat bahagia saat mendengar suara itu. Suara yang tak asing kudengar. Suara yang dulu meninabobokanku dalam keindahan. Suara yang mendamaikan hatiku. Tetapi harus segera sirna saat kumendekatinya. 

Aku berhenti di titik terjauh yang telah kutempuh. Tak ada yang aku dapati satupun, hanya fatamorgana. Aku terhenti pada seonggok batu hitam besar nan lebar. Tak ada cahaya mendamaikan. Tak ada nyanyian terdengar. Apakah ini yang disebut angan-angan? Ya, pelangi selalu terlihat indah di atas kepala mereka. Tak pernah berpihak kepadaku. Dan kini, dengan bekal terahirku aku tersungkur diatas batu. Aku terpekur dan kembali terdiam disini, di atas batu ini. Aku lelah Tuhan. Badanku menggigil kedinginan. Tetapi lebih dingin lagi  hatiku Tuhan. Aku pasrah Tuhan. Apapun yang akan terjadi kepadaku aku rela Tuhan.

Dengan peluh di kening aku hentikan perjalananku ini. Saking lelahnya aku sampai tertidur. Aku tertidur pulas diatas batu, masih dibawah rintik hujan. Aku tak sadar berapa waktu yang telah kulalui dalam lelap tidurku. Hingga suara itu. Ya, suara yang tak asing lagi kudengar. Suara yang sempat memberi harapan palsu sesaat sebelum aku tertidur. Suara itu benar benar membangunkanku. Suara itu membuat hatiku berubah menjadi taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran.

“ Bang ” Tegurnya dengan lemah lembut.
“ Eh, kamu ngapain disini dek ?” Aku terkejut dan terbangun.
“ Abang bawa apa bang, abang kenapa tidur disiini bang? “ Tanya suara itu penasaran
“Aku.. Aku sedang jualan rindu, eh, maksudnya jualan kenangan dek” jawabku gugup.
“ Kenapa dijual bang. Emangnya berapa harganya. Apa gak sia-sia kalo harus dijual bang. Abang pasti lelah ya bang? “ tanya suara itu semakin penasaran.

Aku berjibaku dalam dialog dengan suara yang entah dari mana asalnya itu. Dia menawar daganganku. Ibu, ada yang menawar daganganku setelah sekian lama aku pasrah. Tapi Aku masih ragu, Aku tak pernah tau apakah ini nyata. Apakah ini suara yang Aku rindu sejak dulu. Ah, apa Aku sedang bermimpi. Kutampari pipiku, aiihh sakit. Ini bukan mimpi, ini nyata.

“Bang, apakah kenangan abang boleh adek tukar dengan masa depan bang? “ tiba tiba muncul sosok itu. Sosok yang begitu miterius. Yang selalu mengganggu mimpi indahku, sosok yang bayangannya saja bisa membuat hatiku ser-seran.
“Iya dek, abang mau. Dan apakah kamu berkenan membuatkan secangkir kenangan yang manis buat abang dek ?”
“Iya bang adek mau, jangankan secangkir kenangan yang manis bang, semangkung sup akan adek buatkan dari janji-janji yang dulu pernah kita kumpulkan bersama bang.”

TAMAT.

“Me ZONE”



Minggu, 22 Maret 2022
Pagi yang cerah. Tetapi lebih cerah suasana hatiku. Karena aku jatuh cinta bukan tergantung  musim. Aku jatuh cinta setiap hari. Termasuk pagi ini, aku jatuh cinta bukan untuk pertama kalinya. Namun sayang, pagi ini aku tidak akan bercerita tentang cinta. Aku hanya ingin jalan-jalan. Setelah beberapa hari dijenuhkan oleh berbagai problema dan masalah, aku ingin membebaskan satu hariku untuk bertamasya, piknik, wisata. Kemana aku akan pergi pagi ini? Entahlah, aku masih belum mau memikirkannya. Lebih baik aku nikmati dulu secangkir coklat panas dan martabak manis ini. Mandi, lalu aku akan bergegas meninggalkan kesibukan hari ini. Ku ucapkan bye pada hari hari yang menjenuhkan.
            Sesuai dengan rencana, ya, rencana yang aku temukan tadi saat aku mandi. Saat aku duduk termenung tiada dinanti, aku menemukan suatu inspirasi tentang tujuanku melakukan perjalanan menyenangkan. Tak perlu menunggu lama, tak perlu berfikir dua kali. Kuambil sepeda itu, sepeda yang menyimpan banyak sejarah. Sepeda paling setia, yang pernah menemaniku berjuang melawan gelapnya malam. Melawan dinginnya terpaan hujan, melawan halilintar yang menyalak, berdebam lalu menghujam tak beraturan. Kunyalakan musik di smartphone, memasang handsfree dan aku siap menikmati pagi ini dengan sepeda ini.
            Kukayuh pedal sepeda, dan kuhirup udara segar pedesaan. Mulai tercium  bau padi yang mulai menguning, harum. Sesekali menyapa pak tani, dan tersenyum ta’dzim untuk mereka. Tak kenal lelah, aku terus mengayuh sepedaku hingga tanjakan menghadang. Tanjakan yang begitu terjal, aku memutuskan untuk menitipkan sepedaku ke salah satu rumah warga. Lalu berjalan menyusuri tanjakan yang dihiasi rumput di kanan kirinya. Huuuh.. sampailah pada tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi. Ini tempat faforitku saat kecil dulu. Aku dan teman-teman selalu bermain ke sini untuk berteriak sekeras kerasnya. Aku bermain kesini hanya untuk membawa nasi dan dimakan disini, itu asik sekali kawan. Atau hanya sekedar menerbangkan layang-layang. Kutarik ulur layang-layangku. Setelah lelah, kugulung benangnya, kudekap layang-layang kesayanganku, lalu kugendong menyusuri terjalnya jalan menuju rumah. Pulang bersama layang-layang memang menyenangkan. Aduh, mesra sekali aku. Pulang menggendong layang-layang yang sudah kutarik ulur, kudekap, dan kini ku gendong. Ahaaydee..
            Tetapi kali ini, aku datang ke tempat ini bukan untuk hal itu semua. Aku tidak membawa nasi, aku tidak membawa layang-layang. Dan akupun tak ingin berteriak sekeras kerasnya disini. Aku hanya ingin bertamasya. Disinilah tempat yang paling indah untuk mengenang masa lalu. Hmmm.. Sepertinya tak banyak yang berubah dengan tempat ini, hanya bukit-bukit disana yang mulai berlubang, digali oleh investor-investor dari kota. Memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tak memperdulikan akibat yang ditimbulkannya, untuk mereka yang bertahan hidup disekitarnya. Untuk anak dan cucu mereka. Bapak investor tak akan pernah peduli dengan nasib generasi selanjutnya. Tak peduli akankah anak cucunya masih bisa melihat burung berkicau dengan merdu disetiap pagi. Tak peduli apakah anak cucu mereka masih bisa menikmati segarnya udara perbukitan. Asal perut kenyang, apapun mau dilakukan. Tugas mereka adalah memenuhi kebutuhan keluarga. Memuaskan hasrat untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
            Selain lubang-lubang dibukit itu, semua masih terlihat sama. Tak ada perubahan berarti lainnya. Termasuk tempat itu, tempat yang dulu pernah kita bangun bersama. Rumah-rumahan yang kita bangun diatas pohon pinus. Wujudnya sudah mulai kusam, kayunya terlihat rapuh. Kuberanikan diri untuk mendekatinya dan memanjatnya. Ah, tempat ini sungguh membuat kenangan-kenangan masalalu semakin beterbangan tak beraturan. Ditambah dengan lagu yang sedari tadi kudengarkan. Ini jelas mengingatkanku pada masa masa itu. Drive : bersama bintang, Wali: Cari jodoh, Titi Kamal: sayang, Acha Ft Irwan syah : My Heart, Derby Romero : Tuhan tolong, semua lagu seakan begitu mendukung acara tamasya ku kali ini. Wah, asik sekali kawan.
            Aku sudah mulai duduk di rumah pohon ini saat burung kutilang bernyanyi dengan merdu di dahan pohon pinus. Beserta anak dan istrinya, burung kutilang bernyanyi. Bersiul siul sepanjang hari, trilili.. lili ..liliii.. Wah, sungguh keluarga burung kutilang yang sakinah mawaddah warohmah. Selamat yah burung kutilang. Bolehkah kali ini aku iri padamu. Sudahlah, wisataku kali ini bukan untuk menemui burung kutilang, tapi untuk mengenang masalalu. Masa yang telah berlalu. Suatu tempat yang begitu jauh, yang tak akan pernah kembali dan tak akan pernah sanggup ku kunjungi lagi. Aku hanya mengenangnya, bukan menuju kesana. Setidaknya dengan tempat yang sama, aku bisa merasakan kejadian yang indah, 14 tahun yang lalu disini, di tempat ini.
            Aku tergopoh mendekatimu yang sedari tadi sudah menunggu disini, dibawah pohon ini. Kemarin sore kita berjanji untuk menaiki pohon ini bersama-sama. Aku datang dengan membawa setaman bunga bermekaran warna-warni di hatiku. Dan kau tersenyum melihatku yang datang dengan peluh menetes di pelipisku. Ah, sunyummu mengalihkan duniaku. Betapa bahagianya aku di waktu itu. Kita bawa bunga ini naik kesini. Ya, ini bunga yang dulu kau tiup mahkotanya, sehingga beterbangan membawa mimpi-mimpi kita, lalu jatuh di tebing itu. Dan kini aku tak mau meniupnya. Kubiarkan bunga ini utuh, aku tak mau melihat mahkota bunga ini terbang lalu terjatuh. Kasihan sekali melihat mahkota yang telah terbang indah, lalu jatuh tanpa ada yang memperdulikannya. Bahkan seekor semut pun enggan untuk melihatnya. Acuh dan masa bodoh.


            Anganku terbang bersama burung serwiti, melintasi birunya cakrawala. Terhenti sesaat dan teringat berbagai kenangan menyakitkan yang datang sesudahnya. Aku yang harus mengalah. Aku yang harus berpura-pura bahagia walau hati terluka. Untuk arti sebuah persahabatan dan arti cinta monyetnya anak SMP. Penat sekali jika harus mengingat saat- saat itu. Penghianatan tak terlihat, menusuk dari samping. Ah, sudahlah. Akupun tak pernah tau akan apa yang sebenarnya terjadi. Apa katanya dulu padaku? Buah delima lah, bimbang lah. Omong kosong. Penghianatan yang menyakitkan kawan.
            Beruntung sebelum aku benar-benar terjerumus dalam lembah kesedihan yang berkepanjangan. Waktu mengantarkanku untuk menjauh dari jibaku kisah yang memilukan itu. Aku pergi menjauh, menapaki tanah orang. Sendiri, seorang anak kecil belajar bertahan hidup di tanah orang. Dengan bekal seadanya dan dengan kesabaran sebanyak banykanya. Ashhobru jamiilun, man shobaro dzofaro. Kujalani hari hari baru, meninggalkan kampung halamanku. Meninggalkan kisah pahit yang tergores di hati yang masih unyu. Sedangkan kamu, aku tak tahu apa yang terjadi denganmu bersamanya. Dia teman baikku, teman terdekatku. Entahlah, persetan apa yang terjadi selanjutnya. Aku seperti bandar judi yang kalah taruhan. Berjalan sempoyongan, limbung.
Sial, meskipun berulang kali kumencoba untuk melupakan semua itu, tapi malah semakin sering bayangmu menghantui malamku. Membuatku berimajinasi, mengingat apapun yang berkaitan denganmu. Tulisan-tulisanmu yang kini aku bawa, bau parfummu yang masih aku ingat. Semua tentangmu menemaniku di keterasingan merindumu bertahun- tahun lamanya di tanah peraduan. Satu tahun dua tahun tiga tahun. Sampai aku benar-benar lupa denganmu. Aku benar-benar bisa melupakan apapun yang pernah terjadi. Aku memaafkan semuanya. Tapi apa? Kamu datang lagi seperti medi.  Muncul di hari hari saat aku tak mencari. Kamu datang lewat buah kelapa muda yang aku petik. Dan kisah itu terulang lagi. Ah, dunia sempit sekali. Lubang yang sama.
            Jembatan, berpilin waktu berputar searah jarum jam, tiba-tiba aku sudah duduk di atas jembatan. Jembatan yang benar-benar tak asing bagiku. Jembatan dimana aku bisa melihat aku dan kamu di tepian sungai. Aku tahu, saat itu rasaku sudah tak seperti dulu. Aku hanya bersembunyi di balik topeng hitamku. Aku adalah penjahat kelas kakap yang menyamar menjadi arjuna bagimu. Aku adalah penyamun, aku adalah perampok yang akan memporak-porandakan hidupmu. Dan botol mizone berwarna biru itu adalah saksi atas kekejamanku. Andai kau tau apa yang ada di dalam botol itu. Kau akan lari meninggalkanku. Tetapi apa, kau malah seakan senang. Mempersilahkanku masuk menuju rumahmu lebih dalam. Menjarah apapun yang ada didalamnya. Bahkan hampir kuambil sesuatu apa yang mirip perhiasan itu. Benar-benar aku seorang penjahat.
            Sudahlah, botol mizone biru sudah hanyut bersama derasnya aliran sungai. Entah sampai laut atau justru tersangkut di tepian sungai. Ditemukan oleh seorang pemulung rindu. Dan dijualnnya pada pengepul kenangan untuk di lelang di pasar loak. Ah, aku takut akan ada yang membuka botol itu. Lalu memfiralkan apa yang ada di dalamnya? Aku tenar, aku jadi buronan polisi hutan. Aku jadi buronan para mertua. Ah, kacau. Untung sejauh ini tak ada yang menemukan botol itu. Atau jangan jangan, botol itu sudah ditemukan oleh seorang putri duyung. Dia menemukannya untuk selanjutnya menyimpannya. Dan suatu saat dia akan datang menemuiku dan tiba-tiba mengajaku untuk membangun rumah tangga. Ah, aku ngigau ini. Kurang tidur, kurang kopi mungkin. Tapi aku nggak mabuk, sungguh.
            Andai kau tahu, dalam botol mizone itu tersimpan tabiat buruk ku, Hanya ku tutupi dengan pasir-pasir cintaku. Kupendam dengan lumpur kenangan sebelum kulemparkan ke tengah sungai. Dan kau sampai saat ini tak pernah tau itu. Malah kau seakan terbuai asmara yang tak pernah ada sebelumnya. Botol mizone mengantarkan kita untuk berkunjung ke berbagai tempat. Mengantarkan kita pada titik terdekat yang pernah kita kunjungi. Meninggalkan cerita pahit yang pernah terjadi diantara kita. Membayar lunas rinduku untukmu saat kau sama sekali tak menyadarinya. Menjawab do’a do’aku ditengah malam saat kau sama sekali tak menyadarinya.
            Hingga ahirnya. Kaupun tahu, kau mngerti akan keganjilan yang terjadi. Aku telah beranjak jauh meninggalkan kisah pahit itu. Dan aku enggan untuk kembali. Aku terlalu yakin dengan harapan-harapan masa depan yang kudapat di tanah peraduan. Janji di sana lebih manis, airnya juga lebih jernih. Dan tentunya jalannya lebih luas, menurutku. Aku sebenarnya tak akan mau mengulang masalalu yang benar-benar telah berlalu. Cuma saja kau memaksaku untuk membenahi rumah pohon ini yang telah kau hancurkan. Aku mencoba menata kembali puing-puing kayu yang telah berjatuhan. Aku tak mampu, untuk mengembalikan rumah pohon ini menjadi seperti dulu. Kau yang menghancurkan, aku yang harus membenahinya sekarang. Bahkan dulu kamu pergi hanya dengan menyisakan tanda tanya. Sudahlah, ini masa lalu gaes. Intinya aku berterimakasih padamu. Kau telah memberi warna-warni dalam perjalananku. Walau ahir-ahir kau memberi warna hitam di tengah perjalananku.
            Tak apa, aku tahu ada sebagian jalanku yang berwarna hitam. Aku tau kau yang memberi warna itu. Tapi aku akan terus mewarnai hariku dengan warna yang lebih indah, pola-pola yang memikat hati untuk mengenangnya di lain hari. Semua ini memang berawal dari friendzone dan berahir dengan mezone dan we zone. Jangan pernah menyesal, peluk semua kisah pahit. Berdamailah dengan diri sendiri. Akan ada pelangi setelah hujan.
            Matahari sudah mulai bergeser ke barat, waktu terus berjalan dengan kecepatan yang biasanya. Ini perjalanan yang menyenangkan. Ini akan membuat hari-hariku ke depan lebih cerah, lebih bahagia dan berdamai dengan segala urusan. Memeluk kembali masa lalu dan menjadikan mozaik di dalam hati. Ahirnya kuputuskan untuk turun dari atas pohon di atas bukit ini. Ku ambil sepeda yang kutitipkan tadi di rumah warga di dekat tanjakan yang teramat terjal. Dan aku PULANG. Aku PULANG.

Sesama Buta Jangan Saling Menyalahkan.









Tragedi miris terjadi ketika sekumpulan tuna netra (baca: buta) dihadapkan pada satu permasalahan yang sebenarnya sederhana. Kemudian menjadi pelik hanya karena sempitnya sudut pandang para tokohnya. Tuna Netra yang berikut adalah tuna netra dalam makna yang sesungguhnya. Mereka benar benar buta, tak mampu melihat apapun kecuali hitam, gelap. Adalah gajah yang menjadi objek dan asbab musabab kemirisan cerita ini. Manusia buta tuna netra saling tuduh saling tuding dan saling hujat hanya karena seekor gajah yang tak berdosa. Meributkan kebenaran tafsir masing masing, menisbikan tafsir yang berbeda tentang eksistensi gajah. Sedangkan gajah tak paham satu jenis tafsirpun, hanya melenguh dan menunjukan ekspresi polos, menyeringai cengir kuda. 

Buta mania adalah sebutan untuk mereka si buta yang jumlahnya lebih dari dua. Dengan terbata mereka mengeja bentuk dan hakikat gajah tanpa melihat wujud aslinya secara utuh. Meraba dan merasakan bentuk gajah dalam bentuk serpihan demi serpihan saja. Hingga muncullah persepsi yang jauh berbeda antara satu buta dengan buta lainnya. Buta pertama menganggap bahwa gajah itu seperti lempengan luas dan pipih. Layaknya sebuah kipas, gajah adalah sejenis kipas yang lebar. Buta kedua mulai meraba dan mengatakan dengan yakin bahawa gajah itu tak jauh berbeda dengan ular. Panjang, gilig, dan bergerak-gerak, seperti ular panjang yang berdiri di atas tanah. Lalu buta ketiga lebih yakin lagi setelah meraba gajah, katanya gajah itu tak berbeda dengan sebuah potongan bambu pendek.


Satu sama lain tidak saling setuju dengan persepsi masing-masing sampai pertikaian terjadi diantara buta mania itu. Sampai datanglah seorang pakar gajah dan memberitahu mereka satu-persatu dengan lemah lembut bahwa semua anggapan mereka tentang gajah itu tidak benar. Tetapi apa, mereka tak mau juga medengarkan penjelasan pakar gajah itu. Yasudah, berkelahilah wahai butamania sampai gajah itu bertelur.


Gaes, sadarkah jika ini fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang bertikai karena persepsi yang berbeda dan semua mengaku yang paling benar diatas semuanya. Bahkan jika saja si buta mau sejenak melihat maka apa yang dirasakannya tak sama seperti yang dilihatnya. Jika saja si buta pertama mau melihat maka buta sadar bahwa yang dipegangya adalah telinga gajah, bukan gajah seutuhnya. Buta kedua akan sadar bahwa yang dianggapnya gajah hanyalah belalai gajah. Buta ketiga juga akan tahu bahwa yang dianggapnya gajah hanyalah kaki gajah saja.


Andai saja buta mania mau melihat atau mendengar pakar gajah maka tak mungkin pertikaian akan tercipta diantara mereka bertiga. Tetapi memang mereka lebih memilih bertikai sampai ahir hidupnya daripada melihat atau mendengar. Atau simpelnya jika mereka mau meraba apa yang dianggap temannya sebagai gajah, maka pertikaian tak akan berlangsung terus menerus. Egosentrik itu penting, tapi egosentrik itu bukan egoisme.


Pesan dari cerita ini adalah jadilah buta yang punya pendirian namun juga menerima saran dan pendapat dari teman. Jadilah buta, tetapi tidak merasa paling buta. Kita sama-sama buta, sesama buta dilarang saling menyalahkan.

Selasa, 14 November 2017

Jika dipinjami Pintu Ajaibnya Doraemon, Aku Akan . . .



 Selamat malam jangkrik. Kamu lagi ngapain? Kesepian yah? Sama, aku juga iya. Kamu kenapa gag bernyanyi malam ini, hah, apa? Bete.. uluh uluh kasihan bener. Kamu mau nggak aku hibur dengan cerita cerita yang krik krik dariku? Yaudah, dengerin yah ceritaku. Eh, kamu boleh kok menimpaliku disetiap ceritaku yang garing. Iya, dengan nyanyianmu itu . Krik krik..

Wah, prolog yang sangat berkesan. Dimulai dari percakapanku dengan jangkrik yang kesepian malam ini. Pantaslah, sedari sore hujan terus-terusan mengguyur tanah tak berdosa. Ah, jadi banyak genangan disana sini. Sementara, ibu di dapur sedang memeras parutan kelapa untuk dijadikan santan. Iya, menu sore ini adalah santan godhong budin dan gorengan gesek. Tarraaaa.. sedap sekali yah. Apalagi kalau nasinya masih hangat. Huaahmm. Lezat sekali. Senja, hujan turun ditemani santan godong mbudin dan nasi yang masih mengepul hangat.

Dan kali ini, aku tidak akan bercerita tentang jangkrik, bukan pula tentang hujan.  Tentunya juga bukan tentang genangan dan juga santan yah. Kali ini aku akan bercerita tentang warna. Ya, semua yang ada dimuka bumi ini punya warna. Bunga melati warnanya merah, bunga mawar warnanya putih. Daun warnanya hijau, malam warnanya hitam. Kalau dicampurin maka akan berwarna warni. Membuat kolase keindahan di dalam banyaknya perbedaan. Warna akan tampak jika dilihat dengan mata terbuka. Seorang manusia akan dapat membedakan warna jika ia tidak sedang tidur. Dan, warna bisa terlihat jika ada cahaya. Kamu pasti tak akan bisa melihat warna nasi saat mati lampu kan? Kecuali kalau kamu menyalakan lilin atau senter.

Biru, adalah warna faforitku yang aku tuliskan di buku diary saat aku duduk di bangku smp delapan tahun yang lalu. Pernah gak sih, nulis nulis dear diary gitu? Nama, alamat, hobi, mafa, mifa, wafa dan fa fa fa yang lainnya. Ah, indah sekali jika kuingat masa masa itu. Bertukar cerita lewat kertas. Surat laci sekalipun surat kaleng, sampe tuker tukeran diary. Barter puisi dan imajinansi. Aih, lebay nggak sih kalau ada cowok yang kayak gitu? Tapi itu bukan Cuma aku saja yah. Termasuk teman teman cowokku yang lain. Terhitung sekitar ada tiga, empat, ah sudah lah. Lupakan.

Biru, intinya aku suka biru. Seperti sesuka aku sama nasi.  Dan tahukah kamu ada apa dengan biru? Ya, biru adalah doraemon. Dan kamu tau kenapa doraemon gag punya telinga. Karena waktu itu, doraemon telinganya digigit tikus, terus di amputasi dah tuh telinga. Kasihan ya doraemon. Padahal aku suka banget tuh sama doraemon. Dan doraemon tiba-tiba hadir ditengah kita untuk membuat hari-hari kita menjadi lebih berwarna. Aku adalah nobita, dan kamu adalah suzuka yang pandai main biola. Dan yang aku tau, selain pandai main bola, suzuka juga pandai membuatku deg deg ser. Aih, perasaan apa lagi ini. Aku sudah lama untuk tidak mengenang kisah di dalam botol mizone. Tetapi kenapa sekarang justru suzuka yang mengantarku ke dalam botol itu.

Awalnya aku bertemu dengannya saat pulang sholat jum’at. Iya, suzuka sedang bermain main dengan tiga temannya. Eh, kenapa juga aku harus tebar-tebar bunga di jalan. Kan, jadi gini akhirnya. Singkat cerita aku mengajak shuzuka bermain-main di taman bunga. Eh, doraemon datang. Doraemon menawarkan berbagai alat alat canggih yang ada di dalam kanthongnya. Satupun dari alat alat canggihnya, aku tak tertarik sedikitpun. Aku lebih tertarik pada bunga yang bermekaran di hadapanku. Dan apa? Bunganya layu seketika. Aku pergi sejauh jauhnya meninggalkan taman tanpa jejak. Bahkan aku hapus jejak yang tertinggal di taman bunga itu. Aku anggap jejak-jejaku adalah dosa masa lalu yang harus disingkirkan dari jalan. Bukan apa apa, aku cuma hawatir saja keinjak sama orang lain yang kebetulan lewat disana.

Waktu berjalan lebih lama dari biasanya. Tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa aku bertapa di atas bukit ini, di atas batu besar ini. Melihat semua yang telah terjadi. Berimajinasi tentang apa yang kuinginkan untuk terjadi. Ah doremon, dia tiba-tiba datang menghampiriku. Dia ragu-ragu menawariku alat-alat canggihnya. Dia sudah tau kalau tawarannya akan aku tolak semua. Tetapi dengan rendah hati, doraemon menunjukan alat yang berbentuk kotak. Seperti pintu, iya ini mirip sekali dengan pintu. “apa ini namanya doraemon?” tanyaku penasaran. “Pintu ajaib” katanya dengan penuh percaya diri. Dan entah kenapa, aku yang sejak dulu tak pernah tertarik dengan alat aneh dan tak masuk akal. Tiba tiba kepo dengan alat ini. Aku kepo dengan apa yang bisa dilakukan oleh pintu ajaib untuk ku. Aku tanya dan doraemon menjelaskan seperti seorang sales panci.

Tanpa pikir panjang, setelah penjelasan panjang dari Doraemon. Akhirnya dengan pintu ajaib doraemon yang kebetulan berwarna biru itu, aku berjalan-jalan ke tempat yang pernah ku kunjungi. Sampai ke tempat-tempat yang belum pernah ku kunjungi. Tetapi yang membuat mataku terpana adalah saat aku tak sengaja masuk pintu ajaib doraemon. Dan aku sudah berada di dalam rumah seseorang. Di sana ada dapur yang mengepul mengeluarkan asap. Tercium bau sedap di dalamnya. Dan setelah kucoba melihat lebih dekat ke dapur itu, ternyata ada suzhuka dan seorang anak sepertiku. Mereka berdua sedang memasak. Bakwan, ya mereka sedang memasak bakwan. Selesai, lalu menumis kangkung. Ah, mereka sedang masak bakwan dan tumis kangkung. Lalu lalu... makan bersama. ­Nah ayah ibu mereka kemana? Owh dinas luar kota. Pantaslah.

Lewat pintu itulah aku mengunjungi rumah lain. Melihat Kamu yang membangunkanku dari tidur di hari raya idul fitri, dan bermaaf-maafan lalu mengajak selfi? Apa-apa’an ini, ini tak adil sama sekali. Dan aku mengurungkan memaki diri sendiri. Buat apa, toh hari idul fitri tahun besok akan segera datang. Dan itu hanya imajinasi, mana ada orang bangun tidur langsung maaf-maafan lalu genit-genitan di depan camera.

Biru, sepedaku warna biru. Hadiah ulang tahunku. Dibelikan oleh ayahku. Dan dengan sepeda baru, aku berburu jambu. Jambu biji yang teramat manis dan tak berbiji. Ini jambu biji terlezat yang pernah aku makan. Jambu biji bercerita kepadaku tentang masa lalu. Membuat hati bagai tergores sembilu. Jadi terasa ngilu-ngilu gimana gitu. Jambu biji memperkenalkanku pada botol-botol plastik berjumlah ratusan. Lalu mengajakku menikmati senja bersama mereka. Menyusuri jalanan penuh dengan bunga-bunga. Dan botol mengajaku untuk membuat sebuah video klip. Tapi aku enggan, ini gak asik. Gak asik sama sekali. Tapi apa, kini aku tak bisa membuktikan bahwa aku pernah bermain bersama botol hingga larut malam. Tak dimarahi oleh bapaknya botol, tak pula dimarahi oleh ibunya botol. Malah terimakasih, Karena sudah mengajak botol jalan jalan. Hehe... sebenarnya ini cerita apa sih. Ada botol ada bakwan, ada jambu biji. Waduh makin tak jelas lagi arahnya. Tapi andai saja kamu maksud dengan apa yang aku ceritakan. Pastilah kamu akan menikmati sekali apa yang aku katakan kata demi kata. Sampai kamu benar benar tertidur dengan nyenyak dan bermimpi bertemu dengan ribuan botol beterbangan bersama bintang gemintang. Tetapi aku, aku tak ingin membagi cerita dari botol.

Terimakasih mas doraemon, pintu ajaibnya sungguh menghiburku. Aku yang kesepian menjadi ceria kembali setelah ditemani pintumu itu. Sekali lagi terimakasih. Kapan- kapan main lagi kesini yah. Siapa tau aku tertarik dengan alat-alatmu yang lain.