Get me outta here!

Senin, 12 Maret 2018

Petani Bermucikari

Sawah, kebun, dan ladang. Siapa yang kini betah bertahan lama-lama disana. Hanya orangtua yang tenaganya tak lagi sekuat bajahitam. Hanya orang kampung yang kemampuan berfikirnya lebih tumpul dari pisau.

Kemana perginya sarjana pertanian? Merantau ke kota, melakukan penelitian demi penelitian yang sangat menakjubkan. Atau merelakan dirinya direkrut bank sebagai karyawan, itupun karena paras yang dipandang tak membosankan. Sawah semakin gersang, traktor dan semua jenis teknologi terkini mengaminkan doa kegersangan, pupuk menjadikan tanah lelah. 

Orang desa yang sudah udzur semakin tergusur, belum lagi lahan yang dieksploitasi oleh perusahan pertanian dan peternakan gedung-gedung insfrastruktur. Bangunan semakin subur, kehidupan elite semakin makmur.

Remaja, pemuda, dan mahasiswa memasang gengsi tinggi untuk mempunyai cita-cita jadi petani. Jika Polisi, TNI, dan Pegawai negri lebih diminati, kita harus mau memakan beras ekspor dari luar negeri. Sektor pertanian seakan tak menjanjikan gaji yang tinggi. Terasa lebih rendah derajatnya di hadapan calon mertua yang ukuran kemapanan dan kesuksesan dipandang dari pencapaian duniawinya saja.

Jika sudah seperti ini, kepada siapa seharusnya kita berharap sebelum kita memasrahkan semuanya pada tuhan? Jika kau sebut ini tanda ahir zaman, kutampar anggapanmu itu dengan sendal pak tani yang sudah semakin usang

0 komentar:

Posting Komentar