Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil
sejak dalam fikiran
–Pramoedya
Ananta Toer-
Cerita dimulai
dari senja ini. Aku terduduk seorang diri di bangku taman yang entah sengaja
atau tidak dicat warna biru, seperti warna favoritku. Kutatap air jernih
selokan yang mengalir deras bagai kenangan masalaluku bersamamu kala itu. Angin
berhembus mesra seperti kata-katamu kepadaku, dulu. Daunpun jatuh dihadapanku,
dan daun berbisik padaku bahwa walaupun ia jatuh, tak sedikitpun ia membenci
angin.
Aku balik
berbisik pada daun yang jatuh itu "akupun sama, walau aku jatuh karena dia
tetapi aku tak sedikitpun membencinya". Lensa mataku terus beringas
menjamah dan menjelajah semua pemandangan yang mampu kujamah. Nahas, semua
pemandangan yang seharusnya menyenangkan dan membahagiakan sepintas berubah
jadi menyedihkan. Hanya pasangan muda-mudi yang kudapati. Mereka terlihat
begitu bahagia duduk berpasang-pasangan seperti sedang menamparku dengan ucapan
Tuhan, "Dan Kami ciptakan makhluk di dunia ini secara
berpasang-pasangan". Ada siang ada malam, ada langit ada bumi. Ada
Laki-laki dan ada perempuan, ada yang berpacaran dan ada yang tetap memilih
untuk sendirian. Adil bukan?
Dalam kondisi
seperti ini, kapabilitasku sebagai jomblo dipertanyakan. Akan kulepaskan
statusku ini atau tetap kupertahankan? Andai kau tau,sesungguhnya kali ini di
kepalaku sudah bercokol benih-benih kebencian yang tak terampunkan. Seandainya
saja tak buru-buru kusiram kebencian ini dengan sebuah kata mutiara pasti sudah
merah menyala nih kepala. Bertanduk di kanan kirinya.
Penasaran dengan
kata mutiara tadi? Nih : “ iri pangkal
dengki, dengki pangkal membuli “
Bagaimana aku
tidak iri, mereka semua berdua sedangkan aku sendiri. Truck aja gandengan masa
aku enggak? Selanjutnya kujawab sendiri dengan pelan dan tenang dalam hati,
"Ferrari menjadi tercepat karena sendiri, dan bukankah gandengan hanya
bikin kecelakaan semakin tak karuan”.
Jawaban
masterpice jomblo kawakan yang menyejukan, bukan justru mengundang perdebatan
dan memunculkan umpatan kebencian. Jika sudah seperti ini, keindahan mana lagi
yang akan kau dustakan kawan?
Seandainya aku
tidak suka dengan mereka yang berpacaran bisa saja kumarahi mereka satu
persatu. Atau biar lebih terkesan islami, kudekati mereka yang sedang berduaan.
Kupakai sorban dan gamis lalu dengan lantang kuucapkan : "Assalamu'alaikum
ya akhi ya ukhti. Janganlah kalian berdua-duaan dalam sepi, niscaya yang ketiga
adalah syetan. Walaa taqrobuzzina ya akhi ya ukhti, Nangudzunillah tsumma
nangudzubillah. Dosa besar woi dosa besar!! Apa perlu kuledakan bom panci di
sini ya akhi ya ukhti? “
Ya memang
kebenaran harus ditegakan dengan setegak-tegaknya, berlomba-lomba dalam
kebaikan itu sangat dianjurkan. Terlebih mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran itu suatu ajakan baik yang tak terbantahkan. Tetapi mengingatkan
tak sama dengan menguliti, dan kebenaran tak akan pernah mati.
Ahirnya, aku
harus jujur bahwa pacaran tak baik, harus halalkan biar jadi ladang pahala.
Berbuat apapun asal tidak merugikan oranglain, dengan pacaran yang tidak baik
sangat bisa merugikan lain pihak, itu sudah tak bisa ditolak. Tetapi dengan
cibiran dan nyinyiran menjadikan hati tak nyaman. Saling mengingatkan dalam
kebaikan dan kesabaran. "watawasau bil haqqi watawasau bisshobr"
Saling menasehati dalam perkara haq, dan dalam perkara sabar. Nah, yang kedua
itu yang berat. Sabar lebih berat daripada rindu.
Salam prihatin.
Indonesia ada karena keberagaman.
-
Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) -
0 komentar:
Posting Komentar