Get me outta here!

Senin, 12 Maret 2018

Indonesia Hebat Tanpa Cibiran




Seorang terpelajar sudah harus berlaku adil sejak dalam fikiran
–Pramoedya Ananta Toer- 

Cerita dimulai dari senja ini. Aku terduduk seorang diri di bangku taman yang entah sengaja atau tidak dicat warna biru, seperti warna favoritku. Kutatap air jernih selokan yang mengalir deras bagai kenangan masalaluku bersamamu kala itu. Angin berhembus mesra seperti kata-katamu kepadaku, dulu. Daunpun jatuh dihadapanku, dan daun berbisik padaku bahwa walaupun ia jatuh, tak sedikitpun ia membenci angin. 

Aku balik berbisik pada daun yang jatuh itu "akupun sama, walau aku jatuh karena dia tetapi aku tak sedikitpun membencinya". Lensa mataku terus beringas menjamah dan menjelajah semua pemandangan yang mampu kujamah. Nahas, semua pemandangan yang seharusnya menyenangkan dan membahagiakan sepintas berubah jadi menyedihkan. Hanya pasangan muda-mudi yang kudapati. Mereka terlihat begitu bahagia duduk berpasang-pasangan seperti sedang menamparku dengan ucapan Tuhan, "Dan Kami ciptakan makhluk di dunia ini secara berpasang-pasangan". Ada siang ada malam, ada langit ada bumi. Ada Laki-laki dan ada perempuan, ada yang berpacaran dan ada yang tetap memilih untuk sendirian. Adil bukan? 

Dalam kondisi seperti ini, kapabilitasku sebagai jomblo dipertanyakan. Akan kulepaskan statusku ini atau tetap kupertahankan? Andai kau tau,sesungguhnya kali ini di kepalaku sudah bercokol benih-benih kebencian yang tak terampunkan. Seandainya saja tak buru-buru kusiram kebencian ini dengan sebuah kata mutiara pasti sudah merah menyala nih kepala. Bertanduk di kanan kirinya. 

Penasaran dengan kata mutiara tadi? Nih : “ iri pangkal dengki, dengki pangkal membuli

Bagaimana aku tidak iri, mereka semua berdua sedangkan aku sendiri. Truck aja gandengan masa aku enggak? Selanjutnya kujawab sendiri dengan pelan dan tenang dalam hati, "Ferrari menjadi tercepat karena sendiri, dan bukankah gandengan hanya bikin kecelakaan semakin tak karuan”.

Jawaban masterpice jomblo kawakan yang menyejukan, bukan justru mengundang perdebatan dan memunculkan umpatan kebencian. Jika sudah seperti ini, keindahan mana lagi yang akan kau dustakan kawan?

Seandainya aku tidak suka dengan mereka yang berpacaran bisa saja kumarahi mereka satu persatu. Atau biar lebih terkesan islami, kudekati mereka yang sedang berduaan. Kupakai sorban dan gamis lalu dengan lantang kuucapkan : "Assalamu'alaikum ya akhi ya ukhti. Janganlah kalian berdua-duaan dalam sepi, niscaya yang ketiga adalah syetan. Walaa taqrobuzzina ya akhi ya ukhti, Nangudzunillah tsumma nangudzubillah. Dosa besar woi dosa besar!! Apa perlu kuledakan bom panci di sini ya akhi ya ukhti? “

Ya memang kebenaran harus ditegakan dengan setegak-tegaknya, berlomba-lomba dalam kebaikan itu sangat dianjurkan. Terlebih mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu suatu ajakan baik yang tak terbantahkan. Tetapi mengingatkan tak sama dengan menguliti, dan kebenaran tak akan pernah mati.

Ahirnya, aku harus jujur bahwa pacaran tak baik, harus halalkan biar jadi ladang pahala. Berbuat apapun asal tidak merugikan oranglain, dengan pacaran yang tidak baik sangat bisa merugikan lain pihak, itu sudah tak bisa ditolak. Tetapi dengan cibiran dan nyinyiran menjadikan hati tak nyaman. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. "watawasau bil haqqi watawasau bisshobr" Saling menasehati dalam perkara haq, dan dalam perkara sabar. Nah, yang kedua itu yang berat. Sabar lebih berat daripada rindu. 

Salam prihatin.

Indonesia ada karena keberagaman.
-          Abdurrahman Wahid (Gus Dur) -

0 komentar:

Posting Komentar